Chapter Thirty - Final Chapter

2.7K 184 34
                                    

It's finally the end. Since I don't ask for specific like nor comments, so this will absolutely be the final chapter. There will be no special chapter, so enjoy, prep some tissue. It's a long chapter~~~

“Love is how you stay alive, even after you are gone.”
—Mitch Albom—

Four Years Later, 18th February 2022
Seoul, 17:30 KST
Pertanyaan lain diberikan pada Minjeong yang duduk di samping kemudi. Perempuan itu sempat terdiam, lalu mengikat rambut panjangnya sambil menimang-nimang sebuah jawaban. Eunwoo selalu memberinya pertanyaan yang sama berulang kali. Dan sebanyak itu pula ia akan memberikan jawaban, kadang sama bahkan berbeda, tergantung suasana hatinya.

“Kenapa kau tidak berkencan dengan Haechan?” Eunwoo mengulangi pertanyaannya. Ia melirik perempuan muda itu sekilas, kemudian kembali menaruh fokus ke jalan raya.

“Sudah kubilang kan, dia punya pacar,” jawab Minjeong sambil mengembuskan napas lelah. Ini jelas bukan sambutan yang ia harapkan saat tiba ke Korea setelah Tur Eropa yang padat selama dua bulan terakhir. Minjeong akan lebih senang jika diberi bunga; bukan pertanyaan tentang teman karibnya.

Lampu lalu lintas berubah merah. Kini Eunwoo punya beberapa saat untuk memandangi Minjeong. “Kau menyukainya, kan?”

“Tidak,” bantah Minjeong cepat.

“Tapi kau selalu berada di dekatnya,” timpal Eunwoo tak mau kalah. “Kalau kau terus menempel pada Haechan, kekasihnya mungkin marah.”

“Aneh sekali, tunanganmu tidak pernah marah padaku meskipun kau selalu berada di sekitarku,” ucapnya disertai senyum tipis.

“Kalau Eunha marah, apa yang akan kau lakukan?” satu pertanyaan lain kembali diberikan.

Ada jeda cukup panjang yang Minjeong ambil. Tatapannya terarah ke samping—mengamati pepohonan yang dilewati saat mobil kembali melaju di bawah guyuran hujan salju. “Cuaca minggu ini masih sangat dingin, ya.”

“Kau mengalihkan topik lagi,” kata Eunwoo.

“Aku tidak suka musim dingin,” cetusnya tak peduli. “Itu membuatku kedinginan dan tak nyaman.”

“Apa aku juga membuatmu tak nyaman?” tanya Eunwoo sekali lagi. Ia menunggu sambil mengusap dagu—kemudian menoleh saat Minjeong menarik tangannya tanpa sepatah katapun. Perempuan itu mengamati cincin perak yang melingkar di jari manisnya, menyentuhnya sesaat sebelum menepis tangannya pelan.

Minjeong menyandarkan kepala di jendela kaca, lagi-lagi ia mengamati objek di luar. “Saat kita melihat Mimosa nanti, tolong jangan pakai cincin itu. Melihatnya membuatku tidak nyaman,” katanya pelan. “Lalu tentang perasaanku pada Haechan, itu tidak benar. Dulu aku memang menyukainya, tapi dia tidak pernah menyukaiku secara romantis. Tidak apa-apa, aku lebih suka menjadi sahabatnya. Lagipula Haechan bukan tipeku.”

“Apa aku masih jadi tipemu?” Eunwoo menunjuk dirinya sendiri.

“Tidak, sama sekali tidak,” tolaknya mentah-mentah. Ia tersenyum saat mendengar Eunwoo membuat suara kecewa yang kentara. “Aku tidak berniat mengencani pria yang sudah punya ikatan dengan wanita lain.”

“Ucapan dan tindakanmu berlawanan, Minjeong. Bahkan kita selalu pergi liburan bersama. Aku juga selalu datang ke konsermu—tidak semua tapi aku selalu menyempatkan diri untuk datang,” terang Eunwoo kedengaran seperti candaan.

“Itu tidak lantas membuatku menyukaimu,” tukas Minjeong tanpa basa-basi.

“Kuharap kau lahir tujuh tahun lebih awal,” cetus Eunwoo begitu saja.

Ice Shot Play ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang