"Kau pulang bersama siapa kemarin?" tanya Jane seraya memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya.
Saat ini kami berada di kedai yang dua hari lalu kami datangi. Kebetulan sekali hari ini aku dan Jane tidak memiliki kelas. Jane datang ke rumahku tepat pukul sembilan ketika aku baru saja bangun dari tidurku dan dia langsung mengajakku kemari, sedikit malas karena seharusnya aku menghabiskan waktuku satu hari penuh bersarang di kamar yang sudah menjadi rutinitasku setiap mendapatkan jadwal libur.
"Ibuku yang menjemput kemarin." alibiku, aku tidak mungkin mengatakan kepada Jane bahwa aku diantar pulang oleh Harry Styles si pengusaha––pasti gadis itu akan heboh menanyakan banyak hal jika ia sampai mengetahuinya.
"Benarkah?" Jane menyipitkan matanya seakan tidak percaya.
"Tentu saja! Memangnya kau pikir siapa?"
Jane menyilangkan kedua tangannya, satu alisnya naik. "Sejak kapan ibumu memiliki kumis?"
Mataku melotot. Sialan, apa dia tahu? Aku lantas langsung memikirkan alasan apa yang harus kukatakan pada Jane. Dia bukanlah seseorang yang mudah dikelabui, aku sedikit menyesal berteman dengan Jane. Sungguh.
"Oh itu! Dia adalah pamanku. Aku lupa bahwa aku kemarin diantar pulang olehnya." jawabku sebisa mungkin agar Jane percaya namun sepertinya mustahil.
"Aku tahu pamanmu. Dia sudah tua dan rambutnya pun sudah memutih, bagaimana bisa berubah menjadi muda?" dia menatapku penuh selidik.
Hei, mengapa dia jadi mengintrogasiku seakan aku adalah kekasihnya yang tertangkap basah bersama pria lain? Ini yang tidak aku suka dari Jane, sifat menyebalkannya tidak pernah hilang.
Memutar bola mata, aku menyeruput jus jerukku. "Mengapa kau sangat ingin tahu?"
"Ck, kemarin aku melihatmu memasuki sebuah mobil sport mewah dan aku sempat melihat wajah dari pria tersebut namun tidak terlalu jelas tapi aku yakin dia bukanlah orang biasa. Oh, Olivia. Apa kau baru saja memacari pria kaya raya?"
Aku lantas tergelak mendengar perkataan Jane yang sangat konyol. "Bodoh, tentu saja tidak. Mengapa kau bisa bertanya hal konyol seperti itu?"
Jane memutar bola matanya, dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku dengan mata yang melirik ke sana ke mari seakan memantau situasi.
"Dengar, Olivia. Jika kau benar-benar memacari pria kaya raya, Kau pasti akan selalu dimanjakan dengan uang dan barang-barang bermerek. Tidakkah itu menguntungkan?"
Jane benar, itu sangat menguntungkan bagimu. Ayo, keluarkan sifat liarmu untuk mendapatkan hatinya. Seorang Harry Styles pasti akan tertarik denganmu! Jangan sia-siakan kesempatan emas itu, Olivia! Gadis batinku berucap, seakan mendukung dan membangkitkan jiwa jalangku yang selama ini kupendam mati-matian.
Kepalaku lantas menggeleng keras. Jane dan gadis bantinku sama saja, mereka sama-sama membawa pengaruh buruk bagiku dan aku tidak boleh termakan sederet kalimat tadi. Aku akan tetap menjadi Olivia versiku sendiri walaupun aku mengakui jika diriku sangat menyukai hal-hal yang berbau kemewahan.
"Mengapa kau diam saja, huh? Apa perkataanku benar, kau memacari pria kaya raya yang kemarin mengantarmu pulang?"
Aku mendengus sebal, lalu menyandarkan punggungku di sandaran kursi dan menyilang kedua tanganku di dada. "Bisakah kau berhenti membahas hal itu? Aku tidak memacari pria kaya raya ataupun semacamnya, dia hanyalah orang asing yang berbaik hati memberikanku tumpangan."
"Baik, aku percaya padamu. Tapi jika aku melihatmu lagi bersama pria itu, awas saja!" ancam Jane sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.
Memutar bola mata, aku mengabaikan ancaman Jane dan kembali menyeruput minumanku. Aku terlalu lelah meladeni perkataan Jane yang tidak berujung, rasa keingintahuannya sangat besar yang mana membuatku ingin sekali menendang bokongnya saat ini juga. Menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want You in My Life
FantasyOlivia, gadis remaja berusia delapan belas tahun yang begitu beruntung setelah menjadi kekasih dari seorang pengusaha sukses yang cukup terkenal di kota New York yang mana berhasil membuat beberapa gadis lainnya merasa iri terhadap dirinya. Perbeda...