.
.
.Sejauh mata memandang hanya ada darah segar yang menggenang di segala arah, tumpukan daging tanpa nyawa serta roh-roh terkutuk yang berkeliaran di setiap sudut.
Apakah ini neraka? Bukan. Bahkan mungkin neraka lebih baik dari pada semua ini.
Di lantai dingin beralaskan darah, (Y/N) tergeletak dengan mata sayu yang menatap acak, tak tentu.
Tangan lemah itu bergerak menuju dada kirinya, tepat di mana jantung seharusnya berada, namun justru telah berlubang. Dengan gerakan lambat tangan jemari lentik itu mencari lubang kecil seukuran kelingking di sana.
Tangan lemah itu sesekali bergetar kala berusaha menahan darah segar yang mengalir keluar. Malang, lubang itu menerobos menembus hingga ke punggung, usaha seperti apapun hanya akan sia-sia.
Entah sebuah kemalangan atau anugerah, setelah mendapat serangan telak yang menembus jantungnya, (Y/N) masih bisa bertahan hingga saat ini.
Terima kasih kepada Lukisan kematian yang menamai dirinya Choso. Berkatnya (Y/n) bisa sampai di titik ini, sekarat dengan cara menyakitkan. (Y/n) yang harusnya seketika mati setelah menerima serangan tepat di jantung, kini justru harus merasakan darah segar perlahan mengalir bersama racun yang membunuhnya perlahan.
"Sialan ...,"
Dengan perlahan dan menyakitkan kesadarannya mulai mengabur. Ingatan Ingatan masa lalu kembali berputar di kepala, membawa kenangan manis serta pedih.
Apakah ini yang di namakan kilas balik kehidupan? Apakah sudah saatnya aku mati?
"... Cho ..." dan jiwanya tertelan kegelapan.
.
.
.
.
.
"...(.../N)?"
Aku kenal suara ini
"(Y/N)?"
Siapa yang memanggil?
"Gua tahu lu udah sadar, bangun, oi!"
Detik selanjutnya, tak ada lagi kegelapan pekat, terganti dengan sinar menyilaukan saat kelopak mata terbuka, menampakkan manik indahnya.
Butuh beberapa waktu untuk matanya menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Setelahnya, hal pertama yang ia lihat hanyalah warna putih; langit-langit, gorden serta surai putih laki-laki di sampingnya. Tidak salah lagi, orang inilah yang memanggilnya.
"Syukur deh, akhirnya lu sadar." Katanya dengan nada lega.
Ada jeda cukup panjang sebelum (Y/N) membuka suaranya. "Satoru?" (Y/N) cukup terkejut saat mendengar suaranya sendiri, terdengar seperti suara saat dirinya remaja. "Itu benar benar kau...?"
"Iya, (Y/n). ini gua, Satoru." Jawab Gojo sembari mengacak rambut putihnya yang memang sudah berantakan. "Napa dah? Jatoh dari tangga jadi lupa ingatan, lu?"
"Jatuh dari tangga?" Beo (Y/N) sebelum bergegas duduk, gerakan mendadak itu sukses membuat kepalanya nyeri. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan luka yang berhasil merenggut nyawanya. "Lho, dimana lubangnya." Bisik (Y/N) saat tak kunjung menemukan lubang seukuran kelingking di dadanya.
"Bagus, imajinasi lu makin berkembang. Abis mimpi jadi OC yang mana nih?" Gurau Gojo.
(Y/N) masih belum bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi di sini. Saat akan kembali berbaring, saat itulah dia menyadari seragam yang di kenakan Gojo, buru-buru dia menunduk dan menemukan jika dirinya pun memakai seragam yang sama.
SMA Jujutsu Tokyo? Siapa sangka setelah kematiannya dia justru kembali ke masa lalu.
"Kita di SMA Jujutsu Tokyo?" tanya (Y/N) dengan sumringah.
Yang di tanya justru mengerutkan dahinya dalam. "SMA... Jujutsu?" ulang Gojo. "Makin gabener lu, masa SMA sendiri gatau. Kita ini sekolah di SMA Kanto."
Eh?
"Lu sampe lupa sama nama sekolah sendiri ..." gumam Gojo sebelum beranjak dari tempatnya. "kayaknya gua perlu manggil perawat, jangan jangan ada yang salah sama saraf otak lu."
Bukan ... SMA Jujutsu? Batin (Y/N) bingung. Lalu kalau bukan masa lalu, ini dimana?
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕀𝕞𝕓𝕣𝕠𝕘𝕝𝕚𝕠 || 𝙲𝚑𝚘𝚜𝚘
Fanfiction𝙰 𝙲𝚑𝚘𝚜𝚘 𝚡 𝚁𝚎𝚊𝚍𝚎𝚛 𝚏𝚊𝚗𝚏𝚒𝚌𝚝𝚒𝚘𝚗 . . . ________________________________________________ 𝙔𝙤𝙪 𝙝𝙖𝙫𝙚 𝙣𝙤 𝙘𝙝𝙖𝙣𝙘𝙚 𝙩𝙤 𝙗𝙚𝙖𝙩 𝙢𝙚 𝙛𝙤𝙧 𝙩𝙝𝙚 𝙨𝙚𝙘𝙤𝙣𝙙 𝙩𝙞𝙢𝙚 ________________________________________________ . . ...