Aria Abrisam terbangun dengan kaki terbujur lurus di tempat tidur. Cowok itu sama sekali tidak menikmati waktu istirahatnya, tampak dari bola matanya yang dihiasi oleh guratan-guratan merah. Rintih tangis yang sempat ia dengar dari hotel terbengkalai di belakang rumah, semakin sering ia dengar di dalam mimpi. Bahkan, alam bawah sadarnya memproyeksikan sosok hantu penghuni Hotel Soelastri sesuai imajinasinya—wanita bergaun putih dengan muka sepucat mayat.
Kini, pandangan Aria tertuju ke tirai berdesir yang sudah ditembus oleh cahaya pagi, satu-satunya kain yang menghalanginya dari kengerian pilar, lumut, dan jendela-jendela Hotel Soelastri. Penyesalannya telah memilih rumah ini mulai menyelubungi hati, tapi semuanya kembali pada tekanan faktor ekonomi; ia dan ibunya harus menjual rumah lamanya untuk membeli rumah dengan harga yang lebih murah ini.
Aria keluar kamar tanpa membuka tirai, ia baru berani membukanya siang nanti. Setidaknya menunggu hingga sekumpulan rasa takut yang masih bercokol memudar. Remaja itu masuk ke kamar mandi dan menggosok gigi, berdiri memandangi refleksi wajahnya di depan cermin. Lingkar hitam yang menghiasi mata, membuatnya tersadar betapa singkat waktu yang digunakannya untuk tidur semalam. Ia memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya mencuci muka.
Lima menit kemudian Aria keluar dari kamar mandi dengan bau mulut yang lebih segar. Ia duduk di sofa ruang tengah yang sudah dipenuhi oleh bingkisan parsel berisi camilan kaleng dan sirup. Cahaya dari jendela membuat pernak-pernik pada parsel jadi mengilap. Ada selembar kertas berisi pesan yang ditinggalkan ibunya di meja, ditindih oleh mug hitam berisi kopi.
Ar, tolong kirimin parsel-parsel ini ke tetangga kita, ya!
Aria mengambil mug itu dan menyesapnya. Kini pikirannya digelayuti oleh pintu-pintu rumah tetangga yang akan ia datangi. Sebagai penghuni baru di kompleks ini, cowok itu berpikir bahwa pemberian seperti ini memang patut dilakukan untuk memudahkannya dalam bersosialisasi. Ia pun mulai melihat daftar nama dan nomor rumah tetangganya yang tertera di balik kertas.
"Kak," panggil Lily—adik perempuannya yang masih berusia tujuh tahun. Gadis kecil itu beringsut mendekat dalam balutan piama Disney, ia menggaruk rambut panjangnya yang dikuncir seraya mengunyah roti lapis berisi cokelat. Lily duduk di samping Aria dan bertanya, "Ibu udah berangkat?"
"Udah, Dek," jawab Aria tanpa menoleh, kemudian ia menaruh kertas dan mug itu di meja. "Kakak mau bersihin halaman dulu," lanjutnya seraya melenggang ke pintu, "parselnya jangan diapa-apain, ya. Entar mau dikasihkan ke tetangga-tetangga."
"Iya, Kak."
Lily menyambar remot dan menyalakan TV. Gadis kecil itu beralih dari reporter yang menyiarkan kasus hilangnya siswi SMA ke acara Spongebob Squarepants.
***
Aria melihat banyaknya dedaunan kering yang berserakan, kemudian memperhatikan satu pohon mangga yang menjulang tinggi di pekarangannya. Ia pun menuruni undakan serambi lalu mengambil sapu lidi di ujung pagar. Cowok itu mulai menyapu area di dekat pagar kayu, mengumpulkan daun-daun dan sampah plastik ke dalam serok. Dua juta rupiah, batinnya. Ia mengingat utangnya, harga yang harus dibayar setelah merusak laptop milik Ridho—teman sekelas.
Aria menendang mangga busuk yang berlubang hingga menggelinding ke selokan. Perasaan kesalnya semakin menggunung kala ia mengingat kejadian ketika dirinya terpeleset hingga jatuh di selasar ruko, tragedi yang membuat laptop milik temannya rusak. Cowok itu merasa pesimistis bisa mengumpulkan uang dua juta rupiah dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Ia masih kelas XI dan tidak mempunyai tabungan atau pekerjaan apa pun. Tidak mungkin juga ia mengutarakan masalahnya kepada ibunya, Aria tahu betapa sulit perekonomian mereka saat ini.
Dalam lamunan, secara tidak sengaja matanya menangkap seseorang gadis yang sedang berdiri di jendela rumah sebelah. Ia melihat gadis berkemeja putih sedang membidikkan kamera ke arahnya. Aria terperanjat hingga mematung.
***
Ketika Raisa menjajakan sampo di TV, Lily turun dari sofa dan melenggang pergi ke dapur. Gadis kecil itu membuka kulkas dan meneguk sebotol susu. Ia melirik ke pintu belakang yang terbuka, tampaklah halaman belakang rumahnya yang dikelilingi pagar kayu setinggi 2 meter. Angin kencang berembus menghela rambutnya, bola basket miliknya menggelinding dan berhenti di celah pintu. Bola basket yang ukurannya sedikit lebih kecil dari bola basket normal.
Lily tersenyum seraya menutup kulkas. Gadis kecil itu mendekat ke pintu belakang, ini pertama kali ia mengunjungi halaman belakang rumah barunya. Mata Lily berbinar lantaran tertarik dengan bola itu, seperti anak kucing yang melihat gulungan wol. Angin kencang kembali berembus ketika Lily hendak memungut bolanya, membuat bola basket itu kembali menggelinding ke sudut serambi yang dipenuhi oleh TV tabung, radio, boneka kayu, dan tetek bengek barang rusak lainnya.
Bola basket yang menggelinding berhenti di sepatu boneka kayu, boneka laki-laki berkemeja hijau yang besarnya separuh badan Lily. Boneka itu memiliki seringai senyum yang lebar dan bola mata bulat dengan pupil kecokelatan. Kulitnya kusam termakan usia. Lily tidak menyukainya, ia memberengut memegangi daun pintu. Isi kepalanya sudah pernah dijejali dengan berbagai adegan film horor yang melibatkan boneka di dalamnya. Bola basket itu adalah miliknya, tapi semua barang yang tergeletak di sana sangat asing baginya. Ia pun berasumsi bahwa semua benda-benda itu adalah milik penghuni sebelumnya rumah ini.
Mata boneka itu tidak menatap Lily, tapi menatap kosong ke pagar yang membatasinya dengan Hotel Soelastri. Perasaan takut mulai menjalari saraf-saraf di tubuh gadis kecil itu. Ia was-was jika saja si boneka menoleh menatapnya seperti di film horor.
Angin kencang kembali berembus dan menggelindingkan bola itu turun ke rumput, ada kapak berkarat di bawah sana. Brak! Lily menutup pintu belakang dengan keras, ia mengurungkan niatnya untuk bermain basket.
***
Kini, Aria menyapu halaman belakang rumah, ia memungut kapak berkarat dan menumpuknya dengan benda-benda lain yang berkumpul di sudut. Tempat ini tampak lebih bersih dari pekarangan depan, sebab tidak ada pohon di sini yang menumbangkan daun-daun kering ke tanah, pagarnya pun tertutup rapat mengitari tanpa celah.
Dug! Dug! dug! Terdengar suara langkah Lily yang berlari dari ruang tengah menuju pintu belakang. Gadis kecil itu berhenti di ambang pintu, ia menemukan Aria dan berseru, "Kak, bonekanya dibuang!" Lily menunjuk ke arah boneka kayu yang duduk di antara barang-barang rusak.
Aria menoleh ke boneka kayu itu dan terdistraksi oleh senyumannya, ia terpaku untuk sepersekian detik. Tapi, saat melihat ekspresi wajah adiknya, Aria jadi tersenyum. Gadis kecil itu memberengut menunjukkan ketakutannya pada si boneka. Tentu saja Aria mengerti apa yang dirasakannya.
"Iya, Dek. Nanti Kakak buang. Kamu takut, ya?"
Lily mengangguk. "Aku mau main basket," katanya. "Tapi nggak jadi main gara-gara ada boneka hantu!"
Aria terkekeh, ia mendekat ke boneka kayu itu dan memegang tangannya. "Halo, Lily ... mau main basket sama aku?" tanya Aria, ia membuat seolah boneka itu yang berbicara.
"Iiihhh, Kakak!" seru Lily merasa jengkel. Dug dug! Ia memukul-mukul pintu menanggapi godaan kakaknya.
"Iya iya, Bocil. Ini Kakak buang," tutur Aria menjinjing boneka itu dengan sebelah tangan, kemudian ia melangkah ke pintu pagar halaman belakang.
Klak! Angin berembus menghela poni Aria seketika ia membuka pintu pagar. Hotel Soelastri, batinnya.
Bagian belakang hotel lima tingkat yang terbengkalai, menyambutnya di seberang. Lumut dan akar-akar merambat di tembok yang putih dan kusam. Jendela-jendela kaca yang sebagian banyaknya sudah pecah, dipenuhi oleh debu. Kisi-kisi pagar besi setinggi tiga meter mengelilingi bangunan itu, sebagian sudah patah dan mencuat ke sana kemari. Setidaknya, ada empat pohon beringin besar yang tertangkap oleh matanya, membuat Aria bergidik di pagi hari.
Ia bergegas melangkah ke keranjang sampah di sisi luar pagar rumahnya. Melempar boneka itu ke tumpukan sampah, lalu kembali masuk ke halaman dan menutup pintu. Perasaan ini membuatnya kembali mengingat mimpinya semalam; rintihan dan wajah hantu penunggu Hotel Soelastri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hotel Soelastri
HorrorAria dan keluarganya pindah ke rumah baru di Jakarta Timur. Letak rumah mereka membelakangi Hotel Soelastri, hotel yang sudah terbengkalai selama puluhan tahun. Baru semalam menempati rumah barunya, cowok itu merasakan sesuatu yang janggal; ia mend...