Bab 3

441 107 1
                                    

Aria berhenti di depan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya. Gerbangnya tertutup rapat, perhatiannya pun langsung tertuju pada sakelar bel yang tersedia di sudut kanan. Lily masih setia menemani, ia menggaruk rambutnya yang mulai berkeringat oleh panas.

Jemari Aria menekan bel, suara lonceng pun berdencing samar dari dalam rumah. Cowok itu menoleh ke adiknya. "Nah ... gatal, kan? Makanya, tadi mandi dulu."

Lily menepuk kaki Aria dua kali dan menggerutu. "Kakak, sih ... buru-buru!"

Derak gerbang terdengar, tanda seseorang hendak membukanya. Keluarlah gadis berambut pendek dalam balutan gaun hitam. Aria tidak menyangka bahwa dirinya akan terkesima oleh tatapan gadis itu. Ia terpaku memandangi pesonanya, alisnya tebal natural dan bulu matanya lentik. Masker yang menutupi sebagian wajahnya tak membuat Aria lupa paras si gadis yang sempat ia lihat tadi pagi.

Dia, batin Aria. Ia yakin betul bahwa gadis inilah yang tadi pagi mengintipnya dari jendela menggunakan kamera.

"Ya?" sapa gadis itu, mengernyit seraya melebarkan gerbang.
"Umm—betul ini rumahnya Pak Dehen?" tanya Aria.

"Betul, ada apa?"

Tatapan si gadis tidak berpaling, sedikit mengintimidasi, tapi Aria bisa bertahan dengan ketenangannya.

"Gue Aria Abrisam. Anaknya Ibu Linda. Kami baru sehari tinggal di rumah sebelah," jawabnya, "gue dikasih amanat sama Ibu buat ngasih parsel ini ke Pak Dehen." Aria menyodorkan parsel di pelukannya. "Memang nggak seberapa isinya, tapi ini salam kenal dari kami."

Gadis itu menerima dan menyipitkan dua matanya. Meski memakai masker, Aria tahu bahwa ia sedang tersenyum.

"Terima kasih, Aria," katanya. "Salam kenal, ya. Gue Dita, anaknya Pak Dehen."
"Iya, salam kenal, Dita," balas Aria.

Lalu Bola mata Dita terjun ke gadis kecil yang cemberut seraya menggaruk rambut. "Eh, ini adik lu?" tanya Dita yang kemudian jongkok dan mendekat menatap si gadis kecil.

"Iya," jawab Aria. "Namanya—"

"Namaku Lily, aku tujuh tahun," potong Lily yang mendadak berhenti menggaruk rambut.

"Lily, bagus namanya," sanjung Dita kembali menyipitkan mata.

"Makasih, aku adiknya Kak Aria."

"Tujuh tahun, ya. Kamu baru mau masuk SD, dong?"

Lily mengangguk. "Iya, SD Negeri 7," jawabnya.

Dita berdiri lagi, ia menjinjing parsel dengan sebelah tangan, lalu menatap Aria. "Adik lu lucu banget," katanya. "Terima kasih, Ar. Harusnya nggak perlu repot-repot."

"Iya, sama-sama. Enggak repot, kok," jawab Aria.

"Lu masih sekolah, kan?"

"Masih. Gue kelas XI."

Dita pun semringah. "Wah, sama! Gue juga kelas XI!"

Aria termenung, ada pertanyaan yang ingin dilontarkan Aria kepada Dita. Apakah selama ia tinggal di sini juga mendengar suara-suara aneh dari Hotel Soelastri? Atau mungkin Dita pernah melihat hantunya? Aria bermaksud bertanya pada Dita karena posisi rumah merekalah yang paling dekat dengan Hotel Soelastri dibanding rumah tetangga yang lain—dan ditambah mereka seumuran.

Tapi, ada Lily di sini. Gadis cilik itu sudah terlalu pintar untuk mencerna obrolan orang, Aria tidak ingin rasa takutnya terhadap Hotel Soelastri tertular ke Lily. Terlintas di pikirannya untuk meminta nomor ponsel Dita dan membahas kengerian hotel itu secara pribadi. Tapi, Aria pun belum cukup memiliki rasa percaya diri untuk mengutarakannya. Meminta nomor gadis yang baru dikenalnya bukanlah keahlian Aria. Saat ini, ia hanya bisa mengisi percakapannya bersama Dita hanya dengan obrolan yang ... basa-basi.

Hotel SoelastriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang