Bab 2

663 122 1
                                    

Anindita Ayana, gadis yang sering dipanggil Dita, sedang bersiap untuk mengikuti mata pelajaran Seni secara daring. Sembari menunggu gurunya terhubung di layar laptop, gadis berkulit kuning langsat itu mengambil kamera Nikon D5100 dan mendekat ke jendela. Ia menjepretkan kamera ke cakrawala. Ingar bingar Perumahan Taman Sejahtera tertangkap olehnya.

Dita beralih ke area yang lebih dekat, ia mengamati rumah-rumah tetangganya. Gadis itu mengernyit setelah mengetahui rumah kosong di sebelahnya sudah berpenghuni—seorang cowok sedang menyapu di pekarangan. Dita mengarahkan lensa ke bawah, tepat ke posisi cowok itu berdiri. Ia menjepretkan kamera, menyunggingkan senyum ketika menyadari cowok di bawah sana berparas rupawan; mancung, memiliki gaya rambut fringe, dan kulit wajahnya bersih—jauh dari bayang-bayang noda jerawat remaja.

Ketika hendak mengambil gambar berikutnya, Dita terbelalak lantaran cowok itu menyadari keberadaannya. Gadis itu nyaris menjatuhkan kamera, tapi berhasil menangkapnya dengan posisi meringkuk.

Dug! Kepala Dita membentur kaca, lalu rasa malu membuatnya menjauh dari jendela dan tengkurap di kasur. Ia membenamkan wajahnya di gundukan bantal.

"Aaahhh!" erang Dita. "Kok bisa lihat ke sini, sih?"

Ia melirik ke laptop dan belum mendapati gurunya muncul di layar. Dita pun kembali berdiri, ia mendekat ke cermin dan mendengus kesal. Gadis itu memperhatikan wajahnya sendiri yang sudah dihiasi rona, bibirnya juga menyeringai jengkel. Gue kepergok, batinnya. Baru kali ini gue kepergok.

Dita menggaruk rambut pendeknya yang mengembang, kemudian menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia tetangga baru, belum kenal gue. "Kalem, Dita," gumamnya.

Foto-foto di dinding yang terefleksikan oleh cermin mengalihkan perhatiannya. Dita berbalik dan melangkah mendekati ratusan foto dengan berbagai ukuran yang menempel di seluruh tembok kamarnya. Foto-foto itu tampak ditempelkan menggunakan paku kecil warna-warni. Ada satu foto yang kini menjadi perhatiannya; burung merpati yang hinggap di pagar rumah si cowok ketika rumah itu belum berpenghuni.

Dita tersenyum. Gue tinggal kasih lihat foto itu, jelasin ke dia kalau gue emang suka ngambil gambar dan mengabadikannya, pikirnya. Ia membuka layar kamera, memperhatikan kembali foto si cowok tetangga baru yang berhasil diambilnya.

***

Alunan gitar akustik menggema di ruang tengah, Dita memainkan instrumen lagu More Than Words dengan amatir—jemarinya sering melenceng dari not yang seharusnya. Meski begitu, ia tampak semangat mencobanya berkali-kali.

Dehen—ayahnya, melangkah keluar dari kamar seraya membetulkan dasi, aroma aigner menguar ke hidung Dita. Pria itu mengecup kening Dita sebelum mengambil ransel di kursi. "Ayah berangkat dulu," tuturnya.

"Hati-hati, Yah," seru Dita dengan senyum seraya terus memetik senar gitar.

Dita berhenti berlatih tepat ketika ponsel yang tergeletak di sofa berdencing. Panggilan masuk dari Ayu Safaras, teman sekelasnya. Dita pun membaringkan gitar di sofa dan menyambar ponselnya. Ia duduk bersandar seraya menjawab panggilan.

"Halo," sapa Dita.

"Halo, Dit," sahut Ayu, terdengar juga bising kendaraan di sekitar Ayu.

"Lu lagi di jalan, ya?"

"Iya, gue baru aja dapet kerjaan, Dit. Ini lagi jalan kaki ke kantor."

"Lu nggak bawa motor?"

"Nah itu, Dit. Motor gue disekolahin sama Bokap. So, gue jadi jalan kaki."
"Hah? Disekolahin?"

Hotel SoelastriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang