Bab 5

402 113 0
                                    

Ada gitar akustik yang ditinggalkan oleh mendiang ayahnya untuk Aria. Cowok itu duduk di kasur, memeluk gitar dan memainkan fingerstyle lagu Someone Like You dari Adele. Dentingan merdu senar-senar yang dipetiknya menggema, menghanyutkannya pada ingatan dua tahun silam ketika ayahnya masih hidup dan mengajarinya bermain gitar.

Dulu, Rendra Abrisam—ayahnya, adalah guru Seni di SMP. Ia juga mengajar les gitar di rumah, memperkenalkan banyak hal pada Aria tentang musik. Rendra meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya, menenggelamkan Aria dan keluarganya pada masa-masa kelam. Sekarang, Aria selalu berhati-hati ketika memainkan gitar di dalam kamar, ia tahu lagu mana saja yang menjadi kenangan antara ayah dan ibunya. Cowok itu tidak ingin ibunya teringat dan mungkin akan menangis.

Dalam lamunannya, ia menunggu suara horor apa lagi yang akan didengarnya dari Hotel Soelastri malam ini. Memandangi tirai putih seraya terus memetik gitar. Pukul sebelas, batinnya. Kemarin malam gue dengar rintihan itu pukul sepuluh. Apa artinya nggak bakal ada rintihan lagi?

Dua ekor cicak kejar-kejaran di atas tirai dan langsung mendapatkan perhatian Aria. Ia menduga bahwa cicak berwarna pucat yang dikejarnya itu adalah cicak perempuan, sedangkan cicak yang warnanya lebih gelap adalah cicak laki-laki. Tapi, alih-alih bermain, cicak laki-laki itu tampak seperti ingin memakan si cicak perempuan. Aria mengamatinya terus menerus, mengikuti ke mana mereka merayap. Hingga ia kehilangan jejak cicak perempuan karena sudah bersembunyi di balik lemari. Ada stiker di lemari itu: Allah menghargai niat baik.

Cowok itu malah berdecak kesal dan membaringkan gitarnya. Rusaknya laptop milik temannya memang karena kesalahan Aria, tapi niatnya hari itu sebenarnya baik. Ia ingin membantu Ridho dan teman-temannya menyelesaikan tugas sekolah. Namun, tetap saja nasib sial menimpa Aria.

***


Setelah Ayu pulang, Anindita Ayana kembali berlatih memetik gitar di kamarnya. Bukan tanpa alasan ia berlatih keras belakangan ini. Ada tugas mata pelajaran Seni yang harus dikumpulkannya akhir bulan. Ia kesulitan dalam proses belajarnya karena hanya bisa mengandalkan Youtube. Gue benci pelajaran Seni! batin Dita. Gadis itu menyerah, menaruh gitarnya di kasur dan merebahkan diri. Ia memandangi kulit jemari tangannya yang terkelupas gara-gara giat berlatih gitar, kemudian memberengut setelah menyadari harus repot-repot memotong kuku jari manisnya yang sempat sepanjang 1 sentimeter. Pada akhirnya, semua ini membuat Dita mengingat saran dari ayahnya untuk mencari guru privat gitar.

Dita melihat jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam dan merasa pantas mengapa matanya sudah terasa berat. Ia pun beranjak dari kasur dan menekan sakelar, ketika itu juga cahaya kamarnya berubah gelap dengan nuansa biru. Ada rasi bintang di atapnya, Dita memandangi gugusan bintang itu.

Kameranya tidak bisa menggapai bintang-bintang sungguhan di langit, karena itu Dita menggunakan replika rasi bintang di dalam kamarnya. Ia tersenyum, wajahnya dihiasi cahaya remang kebiruan yang memantul dari langit-langit kamar. "Ibu," gumamnya. Rasi bintang ini adalah ide dari mendiang ibunya—Ariana Anindita. Ibunya meninggal karena kanker ketika Dita masih berusia sembilan tahun.

Dulu, ibunya selalu bercerita bahwa waktu kecil ia bercita-cita menjadi seorang antariksawan yang akan bepergian meneliti misteri luar angkasa. Melihat seluruh dunia dari ruang kecil di pesawat, bercakap-cakap dengan alien, dan mungkin memetik bintang. Setidaknya, itu salah satu hal yang masih melekat di kepala Dita ketika mengingat mendiang ibunya.

Melihat seluruh dunia dari ruang kecil, pikir Dita. Itulah yang memotivasinya mengabadikan gambar-gambar hasil jepretan kameranya memenuhi seluruh dinding kamar.

Samar-samar, Dita mendengar alunan gitar akustik mendentingkan lagu yang tidak asing di telinganya. Ia pun turut menggumamkan lirik refreinnya. "Never mind I'll find ... someone like you ... I wish nothing but the best for you, too—"

Dita terperanjat, ia sadar suara gitar itu berasal dari rumah tetangga barunya. Ia pun beranjak dari kasur dan mendekat ke jendela—mengintip rumah Aria. Gadis itu memandangi dinding pada lantai dua rumah itu, ia menduga itulah kamar Aria. Petikan gitar timbul tenggelam, Dita pun semringah, seolah sudah menemukan siapa guru privatnya nanti.

***

Paginya, Aria membuka tirai kamar dengan keberanian yang lebih baik dari hari kemarin. Tadi malam ia tidak mendengar suara apa pun lagi dari Hotel Soelastri. Bahkan kali ini ia memberanikan diri untuk memperhatikan lebih detail struktur bangunan hotel itu. Ia agak heran dengan pernyataan ibunya sebelum menempati rumah ini, bahwa hotel itu sudah terbengkalai selama puluhan tahun. Jika benar begitu, kenapa pemiliknya sama sekali tidak mau merawatnya lagi? Padahal hotel ini tampak mewah pada masa kejayaannya—ada lampu gantung besar yang bisa terlihat dari balik jendela pecah hotel itu. Belum lagi banyaknya kamar yang juga bisa terlihat dari deretan balkon.

Shalatlah lima waktu, ia teringat perkataan ibunya. Lalu menepuk jidatnya sendiri karena ia selalu bangun siang dan melewatkan bagian salat subuh. "Astaghfirullah," gumam Aria, kemudian ia keluar dari kamarnya, waktunya bersih-bersih halaman dan bersiap mengikuti kelas secara daring siang nanti.

Ketika Aria menyapu pekarangan rumah, Lily duduk di kursi rotan di serambi—memperhatikan kupu-kupu yang terbang di sekitar pohon mangga. Kupu-kupu itu berwarna kuning dan merah, Lily semringah menyukainya. Gadis kecil itu turun ke rumput dan mendekat ke pohon.

"Kak, tangkap kupu-kupunya!"

Aria menoleh memperhatikan Lily, lalu menengadah melihat kupu-kupu itu. "Udah, biarin aja."

"Hihihi," tawa Lily menunjukkan giginya yang putih rata. "Kupu-kupu rumahnya di mana, Kak?"

"Pohon kayaknya." Aria memasukkan kantong plastik ke serok.

"Hai, Lily." Tiba-tiba Dita datang mendekat ke pagar, mengalihkan perhatian Aria dan Lily. "Kamu main apa?" Gadis itu memakai masker hitam, kaus oblong putih, dan celana denim biru pudar. Pandangannya kemudian tertuju kepada Aria. "Hai, Ar," sapa Dita.

"Hai, Dit," sahut Aria.

"Maaf, gue mau tanya. Semalam gue denger suara gitar. Itu lu yang main, ya?"

Aria menyandarkan seroknya ke pagar. "Iya, betul."

"Bagus banget, Ar. Umm—gue lagi belajar gitar buat tugas pelajaran juga, cuma susah banget kalau belajar sendirian. Kalau boleh, lu mau nggak ajarin gue main gitar?"

Aria terkejut dengan keberanian Dita dalam mengutarakan sesuatu. "Ya," jawab Aria spontan. Ia mengingat mendiang ayahnya yang mendapat penghasilan dari mengajar gitar, membuatnya tertarik untuk mendapatkan uang dengan cara yang sama. Tapi, Aria tidak yakin bisa mengajari Dita bermain gitar, cowok itu sama sekali belum pernah mengajari orang lain bermain gitar.

"Kalem, Ar. Gue bayar, kok."

"Eh ... iya, Dit."

"Kalau lu sempat aja, lu bisa ajarin gue," tutur Dita.

Allah menghargai niat baik, batin Aria mengingat stiker di lemari kamarnya. "G-gue siap, Dit!"


Hotel SoelastriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang