Bab 4

381 111 1
                                    

"Umm—maaf," kata Aria gugup seraya membetulkan masker, "Betul ini rumahnya Pak Edi?"

"Ya, betul. Gue Edi." Edi mendekat ke undakan. "Ada apa, ya?"

"Saya Aria, tetangga baru, Pak. Parsel ini buat Bapak, amanat dari ibu saya." Aria pun menyodorkan parsel. Untuk sesaat, ia merasa canggung ketika menggunakan kata "Pak" untuk memanggil Edi. Karena Edi sama sekali tidak terlihat tua. Wajah pria itu tampak muda seperti remaja seumurannya, ditambah ekspresi ramah yang jarang ia lihat belakangan ini.

"Oh, yang di sebelahnya rumah Pak Dehen ini, ya?" Edi menunjuk rumah Dita.
"Iya betul."

Edi menerima parsel itu. "Terima kasih, Ar," kata Edi, "nggak perlu sopan-sopan kalau ngobrol sama gue, santai aja. Kita seumuran kok."

"Hahaha, bisa aja," tawa Aria. Ia semringah, merasa ada kenyaman yang dijanjikan oleh Edi dari caranya bercanda. "Oke, saya panggil Bang Edi aja, ya?"

"Nah, mantap!" Edi menjulurkan kepalan tangan. Aria membalasnya dengan kepalan tangan juga sebagai bentuk tos perkenalan.

"Bang Edi suka melukis, ya?"

Edi menoleh ke belakang, melihat lukisan Hotel Soelastri yang terpajang di dinding ruang tamunya. "Nggak, itu bukan lukisan gue," jawab Edi. "Itu lukisan mantan istri gue."

"Mantan? Maaf, Bang Edi udah cerai? Atau gimana?"

"Ya." Edi kembali menatap Aria tanpa menunjukkan wajah sedih. "Gue sama istri udah pisah setahun yang lalu, sekarang dia tinggal bareng kakeknya di Bandung."

"Sabar ya, Bang." Aria menatapnya sayu.

"Santai aja, mau masuk dulu? Gue bikinin minum."

Aria tertarik, mungkin saja Edi punya hobi yang sama. Terlebih, ia baru di sini dan belum memiliki teman. Faktor ekonomi pun membuatnya harus betah, meski ada hotel angker di belakang rumahnya. Tawaran pertemanan dari Edi jelas membuatnya tergiur, tapi ia harus makan malam bersama ibunya yang akan segera pulang. Karena itu Aria menolaknya dengan sopan. "Saya mau makan malam sama Ibu, Bang. Mungkin lain kali saya mampir ke rumah Bang Edi lagi."

"Oh, siap!" seru Edi. "Makasih, sudah mampir. Salam buat Ibu, ya."

"Iya, Bang. Sama-sama. Ya udah, saya pamit dulu. Permisi, Bang." Aria pun melenggang pergi.

***

Dentingan piring dan sendok terdengar di meja makan. Aria, Lily, dan Linda menyantap makan malam mereka. Menu makan malam ini adalah cumi asam manis dan tumis kangkung. Lily tampak begitu lahap, ada pensil warna di sebelah piringnya, dan buku gambar bekas ia belajar menggambar gunung dan jalanan lurus. Sementara Aria memandangi urat-urat ungu yang menjalar di pergelangan tangan ibunya, ia merasa ingin segera bisa membantu ibunya dan memperbaiki perekonomian keluarga.

"Menurut kamu, gimana sikap tetangga-tetangga kita, Ar?" tanya Linda, menatap Aria seraya mengunyah tempe.

"Baik, Bu," jawab Aria. "Mereka ramah, kok."

"Ada yang pelihara ular," potong Lily. "Seeerrreeemm, banget!"

Aria tersenyum memandangi Lily. "Lily temenin aku terus sampai siang, sampai lupa mandi."

"Iih! Kakak tuh suka buru-buru!"

Linda pun terkekeh menanggapi keduanya. "Terus, ada remaja seumuran kamu di sekitar sini, nggak?"

"Ada, Bu."

"Syukurlah, semoga kamu bisa akrab sama tetangga-tetangga di sini."

"Iya, Bu." Aria merasa yakin ia bisa akrab dengan beberapa orang yang baru dikenalnya hari ini, seperti Edi dan Dita misalnya. Kemudian ia mengingat utang ke sahabatnya, membuatnya melontarkan pertanyaan pada ibunya. "Bu, apa nggak ada kerjaan buat aku di tempat kerja Ibu?"

Hotel SoelastriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang