12. Pemain dan Pilihan

122 28 229
                                    

April 2019

Aku memperhatikan jari kelingkingku setelah ternodai dengan celupan tinta ungu. Hari ini pemilihan presiden. Instastory teman-temanku penuh dengan sticker 'Suara Indonesia'. Karena hampir semua teman kampusku menjadi anggota TPS di tempat tinggal mereka karena berstatus pemuda daerah. Bahkan Rama juga ikut serta memakai sticker itu dalam instastory-dia memotret lokasi TPS.

Wah, irinya ... dia aktif di daerahnya. Sementara aku hanya bisa menatap jari kelingking yang ternodai tinta ungu dengan keadaan masih flu sembari membaca komentar warganet. Masalah 01 dan 02, sebenar aku tak mau membahas politik, sih. Setelah dikaji masalah utama adalah masalah perbedaan quick count di setiap stasiun televisi namun, berakhir saling mengejek pilihan dan gebukan online. Giliran ada yang berkomentar bijak tentang makna sila-sila pancasila, mereka gebuk online lagi di komentar baru. Ya, seperti itu gambaran Negara +62 ber-flower dalam hal memilih. Tak jelas lagi mana yang salah mana yang benar.

Sementara aku ... aku memilih menjadi sad girl. Di kala netijen terus membacot, di kala teman-temanku sibuk menghitung suara rakyat. Aku iseng meng-install otome game-dating SIM. Dalam keadaan gabut flu di kamar. Hahah, just intermezzo. Aku cukup menjadi warga Negara yang biasa-biasa saja-sudah melaksanakan sila ke-4-sudah cukup. Karena aku sering ditugaskan para dosen untuk meringkas acara seperti Mata Najwa, Indonesian Lawyers Club juga debat calon presiden, terkait materi-materi pada mata kuliah. Tidak terlalu terpicu diriku akan hal itu.

"Who's your choice?" ucap narator game. Ada banyak kotak pilihan pacar. Sial. Memilih pacar online khayalan saja pusing luar biasa. Apalagi pacar beneran.

•°🌻°•

"Lan, kamu serius enggak ada niatan punya pacar?" tanya Nindi, menyeruput matcha boba tea. Sembari menekan layar penuh ambisi.

"Enggak ada pertanyaan lain," cetusku tanpa menoleh-mengerjakan tugas resume.

"Makin hari kamu cantik terus, serius!" puji Nindi.

Aku langsung, merinding-mengusap kedua bahuku. "Enggak tau kenapa aku jijik denger kamu ngomong kek gitu, Nin."

"Bukan, itu maksudku. Coba aku testing, ya? Aku tinggalin kamu sendirian di sini bentar. Kamu coba cerna maksudku." Nindi kabur entah ke mana. Aku mencerna maksudnya. Tak terlalu ambil pusing. Aku mengerjakan tugas resume kembali. Tak lama setelah Nindi pergi. Seseorang berjongkok dan bertopang dagu manis di depan meja kursiku. Aku terkejut.

"A-ada apa, ya?" tanyaku.

"Hai, Kak."

"Iya? Ada apa?" tanyaku.

"Lagi bikin tugas?" tanya dia.

"Iya, kenapa emangnya?"

"Boleh bilang sesuatu?"

"Boleh."

"Kakak cantik."

Aku mengerjap mata. "Cantik?"

"Mata kakak cantik, rambut kakak juga."

"Oi! Yogi! Ngapain ngerdusin kakak-kakak woi! Dosen dah masuk!" sorak teman-temannya dari pintu.

"Err ... kamu enggak masuk kelas?" tanyaku.

"Tunggu bentar," katanya sembari merogoh saku kemeja. Kemudian memperlihatkan jari love kepadaku.

Sahita Raswa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang