Rembulan malam telah kembali ke peraduannya. Digantikan oleh mentari yang tengah malu-malu menampakkan diri di pagi yang sejuk ini.
Hujan deras disertai angin dan petir semalam suntuk menyisakan udara dingin yang membuat siapa saja lebih memilih meringkuk dibalik selimut. Dan tentunya aroma khas hujan pun menyapa dengan jelas melewati saraf olfaktori.
Dari balik selimut tebal yang hangat, gadis itu merasakan sakit di bagian tengkuknya. Kelopak matanya seakan sulit untuk dibuka. Dan saat bernafas pun rasanya sesak.
Pelan-pelan dia mencoba membuka mata. Berhasil. Namun sedikit aneh rasanya. Matanya sembab. Lengkungan hitam di bawah matanya nampak jelas.
Menilik ke arah jendela, biasanya, gorden sudah tersibak kala gadis itu membuka mata. Kemudian cahaya mentari menyapa tubuhnya. Namun, sekarang tidak lagi. Dan tidak akan pernah lagi.
Gorden coklat muda itu tertutup rapat dan sedikit bergoyang. Entah karena hembusan dari angin mana, sementara jendela tertutup rapat tanpa celah.
Jemarinya menyelipkan rambut pirangnya yang tempo hari dipotong menjadi sebahu ke belakang telinga, lalu menghela napas berat.
Pagi ini, gadis itu kembali bergelut dengan pikirannya. Waktu terlampau begitu cepat, pikirnya. Tak bisa diterima jika mulai saat ini—lebih tepatnya kemarin sore—dia akan tinggal di ruangan berukuran dua puluh lima meter persegi ini. Di sebuah apartemen. Seorang diri.
Seingatnya, tiga tahun lalu dia masih seorang gadis yang menginjak usia remaja dengan pikiran labil. Yang kadang kala masih merengek meminta dibuatkan segelas susu. Tiga tahun berlalu pula, dan saat ini dia lepas dari Sekolah Menengah Atas.
Gadis itu ingat satu angan-angan masa kecilnya, yaitu : “Ma, Pa, pengen deh aku cepet-cepet kuliah dan tinggal sendiri. Jadi dewasa kayaknya seru!”
Dan sekarang, dia ingin sekali menarik perkataannya itu.
Delapan belas tahun rasanya kurang untuk gadis itu berpisah dengan kedua orang tuanya. Memang, usianya cukup dewasa untuk membuatnya belajar hidup sendiri. Namun nyatanya, semua tak semolek ekspektasi masa kecilnya.
Dia belum tahu tentang semua hal. Dia masih butuh bimbingan. Terutama oleh orang terdekatnya, orang tua.
“Papa tahu, awalnya emang berat. Tapi lama-lama enggak kok. Kamu hanya butuh pembiasaan.”
“Hati-hati dan jaga kesehatan, ya, anak gadisnya Mama.”
“Ma, Pa, Brita belum siap jadi dewasa.” Isakan kecil pun tercipta oleh gadis itu.
✿✿✿
hillow hillow!!!!
gatau ini apa, tapi aku menyebutnya cerpen haha.
ini tertimbun di draf selama hampir sebulan maybe(?), aku sendiri lupa(╥﹏╥)
daripada tertimbun dan membuatnya berdebu, alangkah baiknya dipublikasikan saja mwehe>.<
itung-itung gantinya update dari ceritaku yang satunya.sebenarnya ada lagi, tapi mungkin lain kali saja.
okay thank u!
KAMU SEDANG MEMBACA
memories
Short StoryAda sebuah alegori menarik terkait aku dan dia, yaitu: dia ibarat matahari untukku yang hanya sekadar bulan, yang senantiasa memberikan sorot terangnya dalam duniaku yang malam, pun membagikan kesenangan dalam setiap denyutku yang pilu. Ingatan yang...