pesan rindu

76 50 7
                                    

Air danau yang saling mengejar membentuk ombak kecil melahirkan bunyi menenangkan. Kirana matahari sore mencipta pantulan cahaya jingga yang menyejukkan mata. Serta sorot hangatnya menimpa tubuh mungilku yang tengah duduk di jembatan kecil di pinggir danau ini.

“Tunggu dan temui aku di sini di tiga tahun lagi, ya! Sampai jumpa!”

“Langit ... k-kamu—”

“Jangan sedih, kita pasti ketemu lagi. Aku janji, itu akan terjadi.”

Sekelebat memori mendadak terlintas kembali di benakku. Entah sampai kapan kenangan itu akan terus menetap, aku yang masih setia memandangi air danau tak ingin menyangkal jika aku amat menunggu kalimat yang diucapkan oleh Langit—teman lamaku—terjadi.

Katanya, tiga tahun. Katanya, pasti bertemu kembali. Tapi kapan?

Setelah tiga warsa berlalu aku tak pernah absen mengunjungi tempat ini. Tempat yang menjadi saksi di mana aku dan Langit bersemuka untuk terakhir kalinya. Bahkan waktu tiga warsa mampu kulewati tanpanya, hingga tak terasa jika sudah sewindu lamanya aku kian ke mari hanya untuk bisa menemui seorang yang sudah lama ingin kupeluk.

Setiap hari, saat matahari masih cukup menyengat sekitar pukul setengah empat sore aku sudah siaga di tempat ini. Hingga buta senja raya menyergap seperti saat ini baru aku akan pergi bersama perasaan yang berkecamuk.

Di waktu menunggu, pikiran dan hatiku berperang. Pikiranku selalu menyuruh untuk berhenti. Katanya, untuk apa menunggu seorang yang jelas-jelas tak menepati perkataannya. Sementara hatiku menyuruh untuk tetap. Katanya, sebentar lagi semua penantianku akan terbayarkan. Entahlah, aku merasa frustasi. Akhirnya aku pulang, dan kembali lagi keesokan harinya.

Hari ini, masih sama.

Menatap hamparan cakrawala yang luas di atas, ternyata gelap. Mendung. Nampaknya hujan akan turun sebentar lagi. Sepertinya aku harus pergi.

Sebelum beranjak, aku menyapu pandangan ke sekeliling, berharap ada keajaiban jika seorang yang ingin kutemui, tiba-tiba muncul. Namun, sepertinya itu sangat mustahil.

Kau membuang-buang waktu berhargamu, Aeris. Dasar bodoh. Entahlah, mendadak terlintas kalimat itu di pikiranku.

Lantas aku berlari kecil keluar dari kawasan danau. Awan bertambah mendung. Gerimis yang cukup deras mulai berjatuhan.

Sejauh mata memandang, bangunan kecil yang ingin kudatangi mulai nampak. Satu dua orang yang tertangkap oleh retinaku juga tengah di sana. Aku berpikir mereka sama sepertiku, ingin berteduh. Aku memacu langkah lebih cepat, dan sampai.

Setelah menepuk-nepuk rambut, kemudian bagian lengan dan bahu dari pakaianku yang sedikit basah, aku memutuskan untuk masuk. Berpikir jika suhu dalam ruangan kafe ini tidak sedingin di luar.

Aku membuka pintu kafe, ternyata pengunjungnya cukup ramai, sehingga membuatku mencari-cari kursi kosong untuk kutempati. Aku tertuju pada kursi kosong yang di seberangnya terisi oleh seorang lelaki di sudut kafe.

“Permisi. Boleh saya duduk di sini?” aku bertanya kepada sesosok pria yang sedang meniup-niup secangkir teh hangat dengan setelan jas abu-abu di tubuhnya. Dia mengangkat kepalanya.

“Tentu saja b—Aeris?”

Aku hanya bisa terdiam menangkap pemilik sepasang netra sebiru langit di hadapanku. Aku bermimpi kah? Apa ini nyata?

Lantas tubuhku terhuyung ke belakang akibat pelukan mendadak dari lelaki di hadapanku. Aku menegang, seolah tak percaya. Lagi-lagi aku bertanya, apa ini nyata?

“Langit?” cicitku.

Dia melepas pelukannya, tangannya turun hingga menggenggam kedua tanganku. Aku menunduk, memandangi telapak tanganku yang tiba-tiba hangat karenanya. Tak bisa kutahan, cairan bening seketika lolos dari ujung mata.

“Aeris, maafin aku.”

Sekali lagi, Langit memelukku. Kali ini lebih erat. Aku seolah bisa merasakan ada aliran rindu yang tersalurkan melalui pelukan hangatnya. Namun, entah mengapa aku tak bisa membalas pelukan ini.

Saat sudah berjumpa seperti sekarang, perasaanku kembali berkecamuk. Aku marah pada Langit yang membuatku menunggunya begitu lama, tetapi aku juga tak bisa menentang bahwasanya aku sangat-sangat merindukan lelaki ini.

Penantianmu terbayarkan, Aeris. Berbanggalah. Aku seolah bisa mendengar suara hatiku yang berteriak keras atas ketegaranku yang setia menunggu Langit selama ini. Bersama cairan bening yang kian lama kian menderas di ujung mata, pelan-pelan lenganku terangkat, mendekap tubuh tegap Langit.

“Kamu tahu, Aeris, bagaimana cara langit menyampaikan pesan rindunya pada bumi?” Pertanyaan Langit itu dijawab dengan gelengan kepala olehku, tanda tak tahu.

“Lewat hujan.” Tangan Langit menunjuk cakrawala gelap yang meneteskan air hujan yang cukup deras.

Aku ingat sepenggal memori bersamaan dengan netraku yang samar-samar melihat air hujan yang satu-persatu menyapa kaca jendela kafe.

Apa baru sekarang kamu benar-benar merindukanku, Langit? Sehingga baru saat ini kamu kembali untuk menyampaikan rindumu tanpa melalui hujan? batinku bertanya.

Apa baru sekarang kamu benar-benar merindukanku, Langit? Sehingga baru saat ini kamu kembali untuk menyampaikan rindumu tanpa melalui hujan? batinku bertanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

note: Aeris artinya bumi penuh bunga

hillow!

how are you?
hehehe, i say thank you so much buat yang uda bacaaa

okay, bye!!

memoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang