Namanya Anindita. Seorang remaja berusia delapan belas tahun. Dia adalah gadis berambut lurus sebahu dengan beberapa helai poni di kening, juga sebuah kacamata bulat yang tak pernah lepas bertengger di hidung mungil nan lancipnya.
Mari mengenal Anindita lebih banyak. Pertama, dia menyukai seni. Menurutnya, biarpun benda itu tak hidup, seni adalah sesuatu yang memiliki jiwa. Dia menyimpan makna dan cerita di dalamnya, yang tidak semua orang bisa memahaminya.
Anindita senang mengoleksi sekaligus berkarya seni. Ya, gadis itu sangat suka melukis. Kanvas dan kuas adalah teman terbaik versinya. Di atas bidang datar itu, dia bisa dengan bebas menuangkan segala bentuk ekspresi terpendamnya maupun keadaan yang dilihat di depan gadis itu. Setiap hari dan setiap waktu Anindita selalu berusaha menciptakan karya paling sempurna di atas kain putih tersebut.
Kedua, Anindita penggila suara-suara alam, sekaligus kemolekan yang diberikannya. Gadis itu senang sekali mendatangi tempat-tempat cantik dan menikmati keindahan itu. Dia sering mendapati dirinya duduk di pinggir jembatan kecil di pinggir danau setiap sore. Kadang kala di atas pasir lembut di bawah naungan pohon cemara dekat bibir pantai ditemani teman terbaiknya seperti sekarang ini.
Jari lentik yang memeluk bagian handle kuas, menyapukan pewarna orange pastel dengan kuas fan di atas kanvas. Sesekali pandangan Anindita jatuh pada penampakan di depannya, hamparan cakrawala jingga dan luasnya pesisir dengan warna yang tak jauh beda. Dan ya ... Anindita tengah melukis sebaik mungkin panorama itu.
Selang beberapa menit, lukisannya nyaris tuntas. Sosok tinggi yang berdiri sejauh mata memandang di depan baru saja Anindita lukis. Gadis itu tersenyum setelah lukisannya rampung.
Sempurna!
Anindita kembali menjatuhkan titik pandangnya ke depan. Sosok tadi—gadis itu tebak adalah seorang lelaki—berangsur-angsur nampak lebih jelas lantaran termakan jarak. Anindita mengernyitkan kening berpikir bersamaan dengan sosok yang menghampirinya, dia seperti mengenal lelaki itu.
“Hai, sedang apa?” Sosok lelaki tadi benar-benar menghampiri gadis itu, dia bertanya.
Setelah menangkap sosok itu dengan jelas dengan netra cokelatnya, Anindita lantas tersenyum. Tebakannya benar, dia Reginald a.k.a Re, teman seangkatan gadis itu di sekolah.
“Seperti biasa,” Anindita menjawab pertanyaan Re sembari merapikan kuas-kuas yang tadi dia keluarkan.
“Aku masih penasaran,” Re menjeda ucapannya selagi mengambil tempat di samping Anindita. “Kamu selalu bilang—”
“Aku selalu berusaha membuat karya yang sempurna?” Anindita memotong kalimat Re. Dia lantas terkekeh melihat lelaki itu yang dalam sekejap mata menampakkan mimik wajah masam, sangat kontras dengan ekspresi yang ditunjukkannya beberapa detik lalu. Ya ... Anindita sangat hafal dengan pola pertanyaan lelaki itu tiap kali melihatnya bersama seperangkat alat lukis.
Atensi Re kontan terjun pada kanvas di hadapan Anindita. Dia terlihat menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat selama beberapa detik. Itu sangat terdengar jelas di telinga gadis itu. Bahkan suara embusannya tak kalah terang dari angin yang berembus dan bunyi gelombang pantai di sekitar mereka.
“Untuk apa kamu selalu berusaha nyiptain karya seni yang sempurna? Apa kamu gak tahu?” Re kembali melontarkan pertanyaan, menolehkan kepalanya menghadap Anindita. Sementara yang ditanya hanya bisa memberengutkan kening, mencoba untuk tidak menyeletuk dan menunggu Re menyelesaikan kalimatnya.
“Anindita, kamu sendiri adalah karya seni yang sempurna, paling sempurna malah. Kamu itu, adalah wujud dari karya seni paling sempurna yang telah Tuhan ciptakan. Tuhan itu adalah seniman terbaik yang pernah ada.
“Coba deh, lihat diri kamu. Kamu punya mata yang indah, hidung yang mancung, pipi yang menggemaskan, hingga ribuan rambut yang tumbuh rapi. Itu tak lain dan tak bukan adalah bentuk seni yang Tuhan ciptakan. Kita bahkan gak tahu, kan, butuh waktu berapa banyak untuk menciptakan itu semua. Jadi, untuk apa kamu selalu mencoba menciptakan karya yang sempurna? Bahkan nama kamu Anindita, artinya sempurna. Benar, kan? So, just look at you.
“Aku bilang gini bukan bermaksud apa-apa kok, bukan. Apa lagi sampai buat kamu berhenti melukis, gak! Sama sekali nggak.” Setelah berkata panjang lebar itu, Re mengulas senyum dengan posisi yang masih sama sedari tadi, menghadap dan menatap lekat Anindita.
Kerutan di dahi Anindita samar-samar luntur, tergantikan dengan raut takjub yang amat kentara di wajah gadis itu. Bahkan, otaknya tak sampai berpikir ke sana. Dia benar-benar terpaku dengan kalimat Re kali ini. Memang, Anindita pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh Re.
“Intinya, aku cuma mau ngasih tahu kalau, di dunia ada banyak karya seni yang sempurna. Kamu gak perlu menciptakannya pun, dia sudah ada. Ya ... semua karya seni itu indah dan sempurna. Salah satunya, kamu.”
Anindita mengubah pandangan pada lukisan miliknya, kemudian kembali menghadap Re. Lambat laun ujung bibir Anindita tertarik membentuk lengkungan bak bulat sabit.
Dan kamu juga termasuk dalam karya seni yang amat indah dan sempurna itu, Re.
hillow hillow!!!
how are you para pembaca memories?
hope you are well><kasih tahu dong, pendapat kalian tentang bab ini
di sini »okay, thank u and see u, ya!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
memories
Short StoryAda sebuah alegori menarik terkait aku dan dia, yaitu: dia ibarat matahari untukku yang hanya sekadar bulan, yang senantiasa memberikan sorot terangnya dalam duniaku yang malam, pun membagikan kesenangan dalam setiap denyutku yang pilu. Ingatan yang...