04. Suspicion

58 10 34
                                    

Raiden duduk bersandar di headboard ranjang seraya menghisap sebatang nikotin dalam diam. Ia menikmati benda tersebut dalam sunyinya malam dan gelapnya ruangan. Sebenarnya tidak sepenuhnya gelap, karena cahaya bulan yang masuk lewat pintu balkon kamar yang terbuka, memberikan cukup penerangan dikamar tersebut. Sementara disebelah Raiden, ada Zevanya berbaring memunggunginya.

Mereka berdua belum berpakaian sejak selesai dengan “kegiatan panas” yang mereka lakukan tadi. Dua orang yang tadi dimabuk gairah, kini saling terdiam bagai tak pernah terjadi apa-apa. Raiden tau jika Zevanya tak tertidur dari deru nafas wanita itu. Namun ia juga tidak berminat untuk membuka pembicaraan apapun.

Zevanya tiba-tiba berbalik, ia menatap Raiden dalam diam, sementara sang pria hanya melirik sekilas sebelum kembali menikmati rokoknya. Wanita itu memandangi Raiden selama beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara, "Bolehkah aku bertanya?" tanyanya pelan.

"Bukankah jika tidak ku izinkan kau akan tetap bertanya?" ujar Raiden balik bertanya.

Zevanya diam, perkataan Raiden memang benar. Meskipun Raiden tidak mengizinkannya bertanya, wanita itu akan tetap berbicara.

"Apakah kau tidak pernah menyayangiku walau hanya sedikit?"

Raiden meletakkan sisa puntung rokoknya diasbak yang tersedia diatas nakas disebelahnya. Kini ia beralih menatap Zevanya yang memandang dirinya dengan tatapan ingin tau.

"Jawaban macam apa yang ingin kau dengarkan?" tanya Raiden.

"Kau tau pasti apa jawaban yang aku inginkan," jawab Zevanya.

Tawa Raiden terdengar seolah menertawakan perkataan Zevanya. Ia mengulurkan tangannya dan mulai mengusap surai indah milik wanita disebelahnya.

"Zevanya... Zevanya. Sebenarnya apa yang kau harapkan? aku berkata aku juga menyukaimu begitu? oh tidak mungkin. Kau cantik, pintar, dan sexy. Aku mengakui semua itu, tapi untuk menyukaimu, itu tidak akan pernah terjadi," jawab Raiden tegas menyakiti hati Zevanya.

"Setelah semua yang kita lakukan bersama?" desis Zevanya.

"Kita? kau harus ralat kalimatmu itu dengan 'semua hal yang dilakukan atas paksaan darimu', nah itu baru benar," ujar Raiden sinis.

Zevanya terdiam, Raiden selalu menjadi sosok yang tak bisa ia gapai. Ia hanya ingin 'dekat' dengan Raiden walau hanya sebentar saja, namun sepertinya hal tersebut sulit sekali terjadi.

Suara dering ponsel Raiden menyadarkan Zevanya dari lamunannya, ia menatap Raiden yang beranjak dari kasur dan meraih ponselnya. Pria itu mengenakan bathrobe-nya seraya berjalan menuju balkon kamar Zevanya.

"Siapa yang menelfonmu malam-malam begini?"

Dengan wajah tanpa dosa, Raiden menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama Dilla dengan emot hati berwarna merah diakhirnya.

"Kau tidak boleh mengangkat panggilan itu," desis Zevanya membuat Raiden berhenti, ia berbalik dan menatap wanita itu dengan mengernyitkan keningnya.

"Kau tidak punya hak untuk mencampuri urusanku," ujar Raiden dingin lalu meneruskan langkahnya menuju balkon. Ia segera mengangkat panggilan dari Dilla, dan mulai terlarut dalam pembicaraan mereka.

Zevanya mengepalkan kedua tangannya, ia tidak akan membiarkan hal ini berlangsung lama, ia akan segera mengakhirinya.

****

Hema, Jazziel, Yasa, dan Raiden sudah kembali ke rumah masing-masing setelah sebelumnya ikut sarapan bersama dengan tuan rumah. Zevanya duduk bersantai ditaman yang berada dibagian timur rumahnya, ia membaca novel sembari menikmati teh hijau. Tak lama kemudian, Zergan datang menyusulnya ke sana.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang