Farewell Hug

101 6 2
                                    

Setelah kejadian hari kemarin, Hillery masih belum menyerah untuk mencari keberadaan Nana. Ia sempat berfikir, 'kalau saja aku tak buta, kupastikan aku mudah dalam menemukannya'. Tapi, ia merutuki lagi kebodohan ucapannya. 'Tapi, ada baiknya aku bersyukur pada apa yang Tuhan berikan. Bukankah Nana pernah mengatakan itu padamu Hillery... Huh!'.
Hari ini, para pelayan lelaki istana tersebut dipanggil Hillery ke kamarnya. Ada lima orang yang datang. Termasuk di sana tuan Hans.
"Ada apa tuan muda memanggil kami? Apa yang anda perlukan untuk kami laksanakan?", tanya tuan Hans mewakili keempat orang di belakangnya.
"Tuan Hans, aku ingin agar anda dan anak buah anda yang lain mencari alamat kediaman Nana, atau mungkin kalian bisa menemukannya di mana saja. Tolong lakukan! Ini adalah perintahku", perintah sang pangeran negri itu.
"Baiklah tuan! Akan kami laksanakan dengan baik perintah tuan itu. Kami permisi".
Tuan Hans berkata sambil menundukkan badan. Lalu menghadap para anak buahnya dan berkata,
"Ayo! Kita harus lekas mencari nona Nana. Bersungguhlah dan jangan dengan kekasaran atau paksaan. Apa kalian mengerti?"
"Mengerti!".

-skip-

Hingga petang, kediaman Nana belum juga ditemui oleh para pelayan istana itu. Bahkan di manapun tak ditemukan sosok gadis muda itu. Tuan Hans pun telah mencari data tentang seorang gadis bernama Nana, tapi nihil.
"Nana, nana... Tidak ada?". Begitu gumamnya sambil mencari pada data kenegaraan. Yang ia temukan adalah nama-nama seperti: Silvyona, Zivana, Navine....
Tak ada yang bernamakan Nana dari begitu banyak nama ini?
Apakah nona Nana bukan warga negara Spanyol? Atau memang ia pelajar asing?

-skip-

Sedari pagi, Nana masih menggelut dalam selimut hangatnya. Entah kenapa, padahal hari sudah siang betul, matahari pun sudah begitu teriknya walaupun salju tetap seia turun. Akan tetapi, Nana tak kunjung beranjak dari tempat tidurnya. Mungkin rasa sakitnya kembali meradang. Dia begitu pucat saat ini. Keringat dingin terus mengucur. Ibunya pun merasa heran, mengapa anaknya belum jua terbangun dari tidurnya padahal sudah sangat siang seperti ini?
Ibunya beranjak dari halaman ke bilik putri bungsunya itu. Tangannya pun masih sedikit basah karena sehabis menyiram tanaman dan membersihkan halamannya. Suaminya pun telah berangkat berladang. Ia juga sudah menyelesaikan pekerjaan memasak dan membersihkan rumahnya. 'Apa anakku sakit'. Satu fikiran yang sukses menggugah rasa penasarannya. Diketuk pintu kamar anaknya itu.
"Na? Nana? Ada gerangan apa engkau belum jua terbangun? Na? Silvyona? Engkau masih tertidurkah? Bangunlah nak! Hari sudah sangat siang. Tidak baik anak gadis bangun di siang hari, tak biasanya kau seperti ini. Na?".
Sambil mengetuk ia berujar cukup keras. 'Tidak ada jawaban , tak ada reaksi apa pun'. Dibukanya pintu kamar anaknya itu. Lalu, terkejut adalah reaksi pertama melihat wajah anaknya yang begitu pucat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Tapi, anaknya terlihat tak kepanasan, masih setia menggelung dalam selimut wolnya.
"Nak? Engkau kenapa?", tanya ibunya sambil mengusap keringat anaknya.
Badannya dingin namun ia keringatan. 'Keringat dingin?'. Nana membuka matanya susah payah karena mendengar pertanyaan ibunya. Ibunya membantu anaknya itu untuk duduk memyandar.
"Tunggu sebentar! Ibu ambilkan air hangat dulu dan kain untuk mengelapi badanmu". Nana hanya mengangguk. Ia mulai berkaca pada cermin kecil di atas nakas di samping ranjangnya.
"Kulitku, bibirku.. Hhhh.. Pucat sekali. Mata... Ma... Mataku menguning? Oh tidak, ibu tak boleh mengetahui ini".
Ia mulai bingung harus apa ketika sebentar lagi ibunya akan masuk dan mengelapi badannya. Ataukah ia harus berpura-pura tak bisa membuka matanya dengan alasan matanya sangat berat untuk dibuka? Ya, alasan yang masih masuk akal sehat untuk digunakannya.
"Mari nak, minumlah air hangat ini dan ibu akan mengelapi badanmu itu. Pasti sudah sangat basah dan lengket. Mengapa? Apa matamu tak dapat dibuka? Kau merasa pening?"
Nana hanya menjawab,
"Iya, bu. Masih pening dan berdenyut rasanya. Berat terasa pula untuk membuka mata"
Sementara ibunya hanya percaya begitu saja. Ibunya hanya mengangguki jawaban sang anak lalu mulai duduk di sisi kanan ranjang dan mengelapi badan Nana dengan kain wol yang basah. Di pangkuannya ada sebuah ember kecil berisi air untuk membasahi kain yang akan digunakan untuk membasuhi tubuh Nana.
-skip-
22 December 1950

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang