Dear Dad

69 2 1
                                    

Awal musim panas 1951, Madrid City, Spain...

         Silvyona. Nama seorang gadis asal Barcelona. Dulu pindah bersama keluarganya ke Madrid saat usianya menginjak tahun ke enam. Dia kini tak lagi bersama keluarganya. Tak lagi tinggal di rumah sederhana mereka yang asri dan tenang. Tak lagi bisa berlibur bersama saat musim panas seperti halnya tahun kemarin. Tak lagi dapat menggandeng tangan ayah ibunya, dan saudara-saudara karib sekandungnya.
         Kini, ia hanya dapat termenung memandangi pintu bilik selnya yang terbuat dari besi dengan lubang segiempat kecil di bagian atasnya. Di bilik ini pun hanya ada tempat tidur dan toilet yang hanya bersekat tembok putih lalu berpintu kaca. Mengenaskan lagi, tangan dan kakinya di rantai. Entah mengapa, setelah kejadian pembunuhan ibunya, ia dianggap orang seperti bandit. Orang-orang menjauhkan diri mereka darinya.
         Pagi ini adalah saat di mana ia harus diberi vonis hukuman. Hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. Semua orang tersulut emosi kepadanya. Meneriakinya,
"Dasar bandit"
"penjahat"
"psychopat"
"gila"

         Dia hanya diam dan menunduk. Sesekali, air matanya terjatuh. Ia duduk di kursi kayu di hadapan hakim. Sementara orang-orang yang meneriakinya duduk di belakangnya. Banyak sekali. Karena penduduk kota ini baru sekali ini mendengar gadis yang membunuh ibunya sendiri terjadi di kota ini, dan benar-benar di hadapan mereka langsung. Kesaksian dari beberapa pemuda dan dua orang polisi.
         Begitu miris. Bahkan saat disuruh memberi pengakuan oleh sang pengadil, ia tak dapat berbuat apa-apa. Karena lagi-lagi orang-orang di belakangnya kembali terus meneriakinya,

"Bohong!!! Mengaku saja, dasar perempuan bejat!!!"

Dan berakhir pada vonis ditembak mati.

"Tok tok tok"

Palu telah diketuk tiga kali oleh sang hakim. Dan seluruh orang-orang di belakang Nana bersorak-sorai bergembira. Dan gadis itu hanya diam membisu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

         Ia hanya termenung. Keadaan yang mengenaskan menghiasi sekujur tubuh gadis itu. Rambut yang terikat namun sekarang sudah berantakan dan ikatannya pun sudah menurun setengah dari panjang rambutnya. Kelopak mata dan kantung mata yang menghitam, warna kulitnya begitu memucat, bibirnya yang merah semakin memutih, menurun ke tangan dan kaki nya yang banyak luka dan bengkak. Di sini ia tak diurusi sama sekali. Hari-hari, ia hanya disuruh 'ini itu' sepanjang hari. Hampir tanpa rehat walau sebentar saja.
         Kabar burung yang berhembus membangkitkan kesadarannya kembali. Besok akan ada yang dieksekusi mati di bilik eksekusi dan seluruh penjaga, pelayan, dan para tahanan diwajibkan menjadi saksi hidup proses pencabutan nyawa itu. Berikut pula, beritanya, yang dieksekusi mati besok adalah seorang lelaki tua berumur sekitaran setengah abad. Dia adalah petani yang menggarap lahan pemerintah dan katanya termasuk dalam pembunuhan seorang wanita.

Aneh.

Namun, ada yang mengganjal hatinya. Mengingatkannya pada orang-orang yang ditinggalnya tanpa kabar berita.

Ayahnya,
dan kakak-kakaknya.

         Hidupnya miris. Ketika hari ini ia melihat seseorang memasuki bilik eksekusi. Di mana seluruh orang istana melihatnya. Ayahnya. Dan dia diikat di palang besi. Dan... Algojonya adalah salah satunya...
Kakaknya, James.
         Ia memang seorang kepala sipir penjara, namun tak jarang ia dipilih menjadi salah satu algojo. Ia pandai memainkan pistol, pedang dan berbagai senjata laras panjang. Mereka semua, para algojo ditutupi seluruh wajahnya. Sudah pasti matanya tak dapat melihat apapun dan hanya mengarahkan senjata laras panjang mereka ke arah sang terpidana mati. Itu pun karena mereka di arahkan seorang penjaga. Nana melihat nama kakaknya dari nama yang ada di dada kanannya.
         Banyak yang menonton hal ini hanya menunduk. Takut. Banyak pelayan laki-laki. Yang perempuan nampaknya tak ada. Mungkin dari semua orang di sini, hanya dia dan seorang teman narapidananya yang perempuan. Sayangnya, seluruh narapidana dan penjaga harus menjadi saksi dari setiap eksekusi mati. Matanya mulai melebar namun, kepalanya tetap menunduk. Salah seorang lelaki mulai menyeruakkan suara. Menghitung mundur dari angka tiga.

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang