Aku bergegas membuka pintu kamar untuk menyusulnya. Namun aku terkejut, saat tau dia masih berdiri di depan pintu, menungguku. Dengan gaya elegan, aku mensejajarkan diri. Kemudian kembali bergelayut manja merangkul lengannya melewati keluargaku yang sedang berkumpul."Dah, Papi. Dah, Mami. Dah semuanya..." Aku berpamitan sambil memutar-mutar telapak tangan ala miss universe kepada mereka.
"Duh, mesranya."
"Nempel terusss..."
"Enak punya suamikan, Mbak..."
"Makanya nikah jangan ditunda-tunda."
Secara bergantian mereka menggodaku yang tengah bergandengan mesra dengan suamiku. Membuat pikiranku senang bagai di awang-awang.
Hati-hati di jalan, kalian," pesan Mami setengah berteriak.
"Iya, Mi!"
"Iya, Mi!" Aku dan Zein menjawab serempak.
.
Hari ini kami kembali melihat rumah yang akan kami tempati. Hadiah dari Papi, sebagai kado pernikahanku. Aku tak ingin berlama-lama di sana. Sangat lelah berpura-pura, demi meyakinkan mereka bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia.
Sudah sejak tiga bulan lalu, kami sudah berlatih dan gladi resik sebelum menikah. And well, Papi dan Mami setuju meski Zein bukan dari kalangan ningrat seperti kami. Bahkan Zein langsung bisa mengambil hati Papi dan menjadikannya menantu kesayangan.
"Zein, yang ini kamar aku, ya. Kamar kamu di sebelah. Aku mau yang ada kamar mandinya," pintaku. Lebih tepatnya perintah.
"Iya, terserah kamu."
"Ya, emang terserah aku dong."
"Terus, kita pindahnya kapan?"
"Mmmm...besok aja deh. Biar Nita dan Tiwi pulang dulu. Males banget kalau mereka nanti minta ikut. Mana minta ngadain syukuran lagi. Repot."
"Oh, jadi malam ini kita tidur bareng lagi?" dia berdiri di depanku sambil tersenyum.
"Jangan mimpi. Kamu tetap tidur di sofa!"
"Padahal tempat tidurnya besar, lho."
"Bodo amat!"
"Kalau aku nggak tahan gimana?
"Heh, suami bayaran!" Aku berkacak pinggang di hadapannya.
"Iya, juragan istri." Dia sedikit membungkuk agar wajah kami sejajar.
"Mau, masuk penjara?"
Dia menggeleng, kemudian mundur teratur.
.
Kami kembali lagi ke rumah orang tuaku. Rumah besar itu terlihat sepi. Adik-adik dan keponakanku sudah tidak ada.
"Sudah pada pulang, Neng," jawab Bi Inah, wanita paruh baya yang bekerja di rumah kami.
Aku menarik nafas lega. Setidaknya hari ini aku bisa bebas berkeliaran di rumah tanpa harus bersandiwara lagi. Adik-adikku dan keluarganya memang selalu sibuk. Sama seperti diriku yang juga mengelola bisnis masing-masing.
Hanya Zein saja yang tidak memiliki bisnis sendiri. Jangankan bisnis, pekerjaan tetap pun dia tak punya. Hingga dua bulan yang lalu, aku memintanya bekerja di kantorku sebagai tim editor. Seorang penulis handal seperti dia, pasti dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Ya, dari pada punya suami pengangguran.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINODAI SUAMI SENDIRI(selesai)
RomanceBerawal dari kesalahan di masa lalu, membuat jodohku jadi terhambat. Sehingga sampailah saat dimana seseorang menyelamatkan kehormatanku.