BAB 7: Overbalance

181 50 0
                                    

□□□□□□

Sepulangnya dari menyusul Hinata, Naruto seperti orang linglung. Padahal selama ini dia tidak pernah melamun dengan kurung waktu seharian penuh. Karena kejadian semalam, dia menjadi tidak fokus, menjadi mudah kehilangan kesadaran, dan hanya duduk sambil melihat orang berlalu tanpa bersemangat sedikit pun. Semua orang sangat mengkhawatirkan pria itu, tentunya mengkhawatirkan pekerjaan mereka yang terbengkalai karena bos mereka yang tidak fokus.

Saat sore harinya, Naruto menikmati makan siang yang terlambat itu dengan tidak bersemangat. Dia sudah mendeklarasikan diri sebagai suami idaman yang tidak pernah mencela atau suka pilih-pilih makanan, tetapi masalahnya sore hari itu, dia hanya menggigit ayam katsu-nya lalu membiarkan begitu saja di dalam kotak makannya.

"Anda baik-baik saja, Dokter?" Naruto mendongak, menemukan Kiba yang membawa setumpuk dokumen dan meletakkannya dalam pelukan. "Apa Anda terserang demam lagi? Anda belum sembuh? Apa perlu saya memanggil Nona Hyuuga?"

"Kenapa kamu perlu memanggil dia?"

"Ya, siapa tahu Anda akan senang jika dirawat oleh gadis itu."

Benar, dia akan senang-senang saja jika dirawat oleh Hinata. Gadis cekatan dan baik hati, juga bisa dalam segala hal entah mengapa kini menjadi kriteria idamannya. Tanpa sadar, semua yang ada pada diri Hinata menjadi apa yang paling disukainya. Namun masalahnya, hubungan di antara mereka terkesan sangat aneh.

"Aku tidak ingin dia tahu siapa yang membunuh Ibu dan Ayahku, dan aku juga tidak ingin dia tahu siapa yang sudah membunuh orangtuanya."

Kiba mengernyitkan dahi. "Anda bergumam apa Dokter? Saya tidak bisa mendengarnya."

"Kiba, pergilah, aku ingin sendiri," pinta Naruto, dengan wajah yang lesu dan sepertinya akan pingsan sebentar lagi.

Sementara Kiba, berlari menuju ke arah perpustakaan dengan wajah yang lebih khawatir.

Hinata baru saja mengembalikan troli ke tempatnya, dan melihat seseorang dengan jas dokter tergesa-gesa masuk ke dalam perpustakaannya yang kini sudah sepi oleh pengunjung. Dengan tingkah yang kekanak-kanakan, Hinata dapat menebak bahwa yang ada di depannya sekarang bukan dokter Uzumaki, yang selalu datang dengan langkah yang tak pernah tergesa-gesa seperti itu.

"Kenapa?"

"Dokter Uzumaki," ujar Kiba sembari mengatur napasnya. "Dia seharian ini seperti orang aneh, hanya melamun, dan ditambah dia tidak nafsu makan."

"Mungkin sedang banyak pikiran."

"Benar, dia baru-baru ini bertemu dengan dokter di departemen forensik, tapi ini berbeda, biasanya dia tidak akan memikirkan apa-apa sampai melamun begitu. Apakah... apakah kamu menolaknya?" Kiba berbicara tanpa jeda menyebabkan nafasnya tidak kunjung teratur. Ia kemudian berlari ke arah mesin otomatis, untuk membeli beberapa minuman dari sana, lalu kembali ke depan Hinata. "Kamu tidak mau pergi melihat?"

"Aku masih ada tugas di perpustakaan, jadi aku tidak bisa pergi ke lab kalian."

"Kamu mementingkan pekerjaan sementara dokter Uzumaki sudah seperti zombi?"

"Tidak ada hubungannya denganku, 'kan?" Kiba memutar bola matanya, tampak kesal mendapati bahwa gadis itu tidak peduli sama sekali, dan semakin merasa kasihan pada dokter Uzumaki. "Begini saja, aku akan pergi ke sana begitu pekerjaanku selesai."

"Kapan pekerjaanmu selesai? Tidak yakin sebentar lagi kamu akan menyusul ke sana."

"Aku tidak bisa pergi begitu saja dari sini, itu terlihat tidak profesional. Jika kepala perpustakaan tahu ini, aku mungkin akan mendapatkan surat peringatan darinya."

Kiba mengangkat kedua pundak, lalu menyerah dengan tujuan awalnya, berakhir dia meninggalkan perpustakaan itu dengan tangan kosong. Dan entah mengapa dia harus ikut campur ke dalam masalah yang bukan masalahnya, ya pokoknya ini demi dokter Uzumaki, tidak ada yang lain. Semua penghuni laboratorium tahu kalau suasana pria itu kurang baik akan berdampak bagi mereka juga.

Sekembalinya dari perpustakaan, Kiba menemukan bahwa dokter Uzumaki sudah berada di lab, mengecek satu-satu buku laporan hasil. Ia tampak fokus, tetapi sesekali terdiam seperti orang yang sedang berpikir keras karena suatu masalah yang tidak dapat terpecahkan. Kiba sendiri tidak tahu, apakah dia perlu masuk ke sana, atau justru memilih mundur. Kalau dia tidak menunjukkan batang hidungnya, takut terjadi masalah yang lebih besar. Bagaimanapun dia tidak mau dianggap tidak bekerja di sana sedangkan selama ini dia harus meneliti sperma, urine, darah,  yang masuk ke ruang bahan.

"Kiba, kamu habis dari mana saja sih!" Shoko datang, menghampiri Kiba dengan marah. "Dari tadi kami mencarimu, karena ada banyak pasien yang sedang menunggu hasil tes patologi," Kiba memijat pelipis. "Ada yang sedang kamu pikirkan?"

"Tidak. Tidak ada!"

"Oh ya satu lagi, hari ini jadwalmu untuk membersihkan limbah medis." 

"Apa? Kok aku lagi?" 

"Karena kemarin kamu melakukannya setengah-setengah, kan aku jadinya yang harus menggantikanmu. Pokoknya sekarang urus pembuangannya dulu dan setelah itu pergi ke ruang hasil."

Kiba sebenarnya sudah tidak tahan dengan sikap Shoko yang selalu seenaknya itu, tetapi sampai detik ini pun Kiba tidak menyadari bagaimana sikapnya terhadap lingkungan kerjanya, yang sudah pasti dia dan Shoko sebenarnya punya sikap seenaknya yang tidak jauh berbeda. 

"Di mana Kiba?" dokter Uzumaki bertanya ketika Shoko baru saja memasuki lab. "Aku tidak melihatnya dari tadi." 

"Dia baru saja pergi ke tempat pembuangan limbah medis." 

Seseorang memasuki lab dengan berlari kecil. "Dokter!" berseru dengan suara lantang hingga anak-anak lain menoleh ke arahnya. "Terjadi kecelakaan di depan perpustakaan, sebuah truk dengan pengemudi yang pingsan." 

Kiba kali ini berlari dengan wajah pucat, masih mengenakan sarung tangan medis yang kotor. "Hinata Hyuuga dibawa ke ruang gawat darurat saat menolong anak kecil." 

Dokter Uzumaki langsung menjatuhkan buku yang dibawanya, lalu berlari keluar dari lab. Sesampainya di luar pun tidak membuatnya tenang karena orang-orang mendatangi tempat kejadian, sedangkan baru saja ambulans yang membawa Hinata pergi dari sana. 

"Moru, di mana Hinata?" 

"Dokter, dia baru saja pergi dengan ambulans, tidak sadarkan diri," Moru tergagap sambil memeluk tas Hinata, berniat untuk menyusul gadis itu. "Apa Anda mau menggantikan saya?" tanya Moru, lalu menyerahkan tas yang dibawanya pada dokter Uzumaki. "Tolong, susul Hinata, dia tidak ada keluarga di sini, sementara saya akan mengurus beberapa urusan, karena mobil itu menghancurkan ruang baca, dan sekarang kacanya berhamburan."

Naruto mengangguk, dia kemudian berlari mencari taksi.

□□□□□□

BERSAMBUNG

暗い雲 / Dark Cloud (Close Pre-Order!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang