□□□□□□
Mito melihat hujan tengah malam itu dengan pandangan kosong, sedangkan Anko baru saja masuk ke ruang perawatan setelah mengisi teko air hingga penuh, dan semalaman penuh dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan kehabisan air.
Kembali ke samping Mito, Anko merapikan selimut wanita tua itu, kemudian membaringkan tubuh Mito. Berselang hanya beberapa waktu, Mito bertanya pada Anko. "Di mana Naruto? Aku tidak melihatnya datang ke sini untuk berkunjung. Lalu, ke mana Hashirama? Suamiku juga tidak kelihatan seharian ini, padahal aku sedang sakit, apa mereka berdua bersenang-senang tanpa aku, Anko?"
Anko tersenyum lembut, sambil memijit lengan Mito dia membalas, "Tuan sedang membantu Naruto mengerjakan tugas sekolah, akhir-akhir ini tugasnya banyak sekali."
"Aku lupa," Mito berseru dengan menyunggingkan senyum. "Sekarang Naruto sudah memasuki sekolah menengah, dia harus punya teman, dan pasti dia akan punya teman."
"Tentu saja, Nyonya."
Anko meratapi kesedihannya di dalam hati. Ia tidak berani sedikit pun menunjukkan wajah seperti itu di hadapan Mito seharian ini, ketika wanita itu akhirnya membuka matanya setelah lebih dari sebulan terbaring koma karena serangan jantung yang dialaminya. Belum lagi faktor stres yang semakin meningkat, membuat Mito kehilangan beberapa memori—lagi pula wanita itu sendiri terlalu sakit hati oleh peristiwa akhir-akhir ini di mana cucunya sendiri tidak pernah menaruh perhatian khusus kepadanya. Anak itu entah kenapa semakin membenci dirinya. Mito melindungi semua perasaannya yang tulus kepada anak itu dengan melupakannya—memaksa batinnya agar tidak terluka.
Satu-satunya yang Mito ingat adalah masa lalunya yang damai, ketika melihat cucunya yang manis itu tumbuh, hanya terkadang ada kalanya dia sangat khawatir karena Naruto tidak pernah keluar dari kamarnya.
Selama itu, rumah mereka tidak pernah kedatangan siapa pun—lebih-lebih ketika semua anak seusia Naruto akan datang membawa temannya, anak itu selalu pulang dengan wajah dingin yang memperlihatkan bahwa dia tidak butuh seseorang.
Memastikan Mito sudah terlelap, Anko menarik ponselnya sembari beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan Mito.
Dia melihat laporan-laporan itu muncul bersamaan setelah dia menyalakan jaringan internet. Saat itu pula Anko bergumam. "Bagaimana bisa kamu berbahagia sementara nenekmu menderita di sini sendirian?"
Semua kenyataan itu membuat Anko sangat frustrasi, tetapi di sisi lain dia tidak bisa gegabah meninggalkan Mito sendirian dalam kondisinya yang belum stabil. Langkah selanjutnya pun masih dalam tahap rencana. Ia berada di situasi yang tidak memungkinkan untuk bertindak, tapi masalahnya jika dia tidak segera memisahkan keduanya, sudah pasti Anko akan kehilangan jejak, karena Naruto bukanlah pria bodoh yang akan menetap.
Anko membalas pesan tersebut;
Untuk saat ini pantau mereka, aku akan pikirkan kapan perlu bertindak, Nyonya sedang tidak baik.
□□□□□□
Belakangan hari, Hinata lebih sering bangun agak siangan, saat itu ketika dia keluar dari kamar, sarapan sudah siap di atas meja makan mereka di ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Belum cukup takjub dengan sarapan, semua cucian yang harus dicuci pagi-pagi sekali berada di bawah matahari yang semakin terik.
"Semua pekerjaanku kamu ambil, aku jadi tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
"Istirahat saja."
Hinata mengerucutkan bibir, kelihatan sekali tidak senang.
"Bermain bersama Kurama di halaman."
"Lalu, kamu?"
"Aku perlu mengurus sisa pekerjaan—menyelesaikan semuanya lebih baik."
"Menurutmu, apa akhir-akhir ini aku menyebalkan?" Naruto mengernyit, dia mengurungkan niatnya untuk meletakkan telur mata sapi ke atas piring sarapan mereka. Naruto justru memandang wajah Hinata yang menggambarkan rasa bersalah, sementara dia sendiri tidak tahu mengapa gadis itu bermuka seperti itu. "Menurutmu begitu, 'kan?"
"Jawaban seperti apa yang kamu harapkan? Aku sendiri tidak tahu dengan pertanyaan yang kamu maksud itu."
"Ya... seperti... aku mengajak tidur lebih cepat."
Naruto menahan tawanya. "Kalau aku mau, aku bisa saja menolak," kata Naruto, kini melanjutkan untuk melepas apron yang dikenakannya. Saat itu dia mengambil duduk di samping Hinata, menarik garpu dari tempatnya, lalu diberikannya pada Hinata. "Aku lebih suka berada di kamar seharian denganmu. Kalau soal menyebalkan, aku tipe pria yang bisa menciptakan suasana menyebalkan tanpa bisa kamu bayangkan."
Hinata tersenyum malu-malu.
"Makan yang banyak, dan kalau bisa habiskan semuanya."
"Apa kamu tidak sarapan?"
"Aku sudah sarapan," kata Naruto, kemudian berdiri sembari masih salah satu tangannya mengusap kepala Hinata lembut. "Aku pergi ke ruang baca dulu."
Setelah memastikan Naruto masuk ke dalam ruang baca, Hinata kembali melanjutkan sarapannya. Namun sudah dua minggu ini perutnya agak tidak nyaman. Makan apa pun rasanya ingin mengeluarkannya kembali. Belum lagi suhu tubuhnya agak naik-turun. Satu-satunya yang dia pikirkan adalah faktor pergantian cuaca, dia sering kali tidak bersahabat dengan itu.
Selesai dengan sarapan, Hinata membersihkan dapur kali ini, mencuci semua alat masak dan makan yang selesai digunakan. Begitu semuanya selesai, dia menghampiri si Samoyed putih yang mengangkat kepalanya dari lengan yang dilipatnya.
"Kurama, waktunya sarapan," Kurama menggonggong dengan gembira, menjulurkan lidahnya dengan muka yang ceria. "Ayahmu lupa menuangkan sarapanmu, ya," kata Hinata. "Makanlah yang banyak."
Setelah mengurus Kurama, Hinata kembali ke dapur untuk membuat secangkir teh, lalu pergi ke ruang baca.
"Aku mengantar teh dan kukis. Apa aku mengganggu?"
"Tidak, masuklah."
Naruto cukup serius menghadap laptop-nya dengan kamera yang menyala. Dia sedang melakukan pertemuan lewat daring, membahas beberapa masalah laboratorium dan beberapa program-program yang masih berada di bawah tanggung jawabnya. Namun ketika Hinata akan meninggalkan ruangan itu, dia melihat lembar surat yang dapat dibaca olehnya sebagai perjanjian pernikahan, sebuah formulir pendaftaran untuk para calon sepasang suami-istri.
Hinata hanya melirik sebentar tanpa mengatakan sepatah kata, keluar dari ruang baca, sedangkan ketika Naruto tahu apa yang Hinata temukan tadi, segera mengakhiri pertemuan daring itu sambil menarik formulir tadi.
"Hinata," panggil Naruto. "Kamu tahu apa ini?" dia menunjukkan formulir itu kepada Hinata yang bahkan tampak tidak terkejut. "Ayo kita menikah."
"Aku... berpikir bahwa tindakan kita ceroboh."
"Kamu takut dengan nenekku atau tanggapan orang lain karena masa lalu kita?"
Kedua tangan Hinata mengepal rapat. Dia menunduk sembari merasa dilema.
"Daripada tinggal tanpa status, sebaiknya kita membuat status."
"Apa?"
Naruto mendekati Hinata. "Apa selamanya kita harus hidup seperti orang yang tidak saling mencintai? Jika laki-laki dan perempuan tinggal bersama, hanya ada dua kemungkinan bahwa mereka adalah teman tidur, atau mereka adalah pasangan. Tentu saja, aku tidak mau kita hanya jadi teman tidur. Akan lebih baik kita dikenal sebagai pasangan, karena aku mencintaimu."
Dengan wajah malu-malu Hinata menarik ujung kemeja Naruto sembari terangguk. "Aku juga... mencintaimu."
□□□□□□
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
暗い雲 / Dark Cloud (Close Pre-Order!)
FanficSejak kecelakaan yang dialaminya beberapa tahun silam, Hinata Hyuuga mengidap Prosopagnosia. Dia tidak dapat mengenali wajah seseorang, bahkan wajahnya sendiri. Ia sering kali menghindari pertemanan atau hubungan dengan orang lain, sampai pada akhir...