BAB 11: I'm a Killer

175 45 0
                                    

□□□□□□

Dimulai empat puluh tahun yang lalu, ketika Anko berusia sepuluh tahun, ditemukan oleh Mito di sebuah panti asuhan yang tidak terawat, di mana dulunya Anko lahir dari keluarga kaya raya di distrik Mita, tetapi karena keserakahan keluarganya yang memiliki banyak cabang, harta benda, serta tidak adanya penerus laki-laki di kemudian hari, membuat keluarga Mitarashi hancur seketika. Sejak hari itu, ketika dia dikenali dan kembali mendapatkan kehormatan berkat Mito, Anko tidak pernah lupa janji-janjinya untuk setia kepada wanita itu.

Anko baru saja selesai memastikan bahwa sang nyonya nyaman di tempat tidurnya, setelah mengalami serangan jantung karena masalah yang sama. Lalu Anko menghubungi dokter wanita itu. Dalam sekejap, ambulans khusus itu datang untuk menjemput sang nyonya yang kini tidak lagi muda, ketika lelah dan stres, Mito akan mudah tumbang.

Saat Anko mengambil duduk di salah satu kursi di ruang perawatan itu, dia mendengar suara pintu, mendengar langkah kaki itu, sementara orang yang baru masuk itu, berhenti tepat di samping dia duduk.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Naruto, walaupun dia tidak terkejut karena ini bukan pertama kalinya dia mendapati neneknya tumbang setelah beradu mulut dengannya, tetapi pertanyaan itu bagi Anko adalah sebuah kesalahan. Dia selalu mengulanginya, bertanya kondisi itu akan jadi hal paling sia-sia.

"Seperti yang kamu lihat, dia membutuhkan alat bantu."

"Seperti biasa."

"Bicaralah dengan sopan selagi aku baik kepadamu," ujar Anko dingin. "Aku tidak peduli kamu mau melakukan apa pun di luar sana, tetapi jangan berhubungan dengan gadis itu."

"Anko," seru Naruto, membalasnya dengan suara dingin pula. "Jangan ikut-ikut."

"Kamu tahu, aku tidak pernah mengingkari sesuatu, termasuk perintah darinya."

Naruto memperhatikan kondisi neneknya, sementara dia berpikir belum saatnya untuk bertindak menghadapi Anko—kenyataannya, ketika Anko akan mulai menyerang, Naruto tidak pernah bisa mengalahkan wanita itu dalam pertarungan jarak dekat.

"Mari bertaruh, siapa dulu yang akan mati," kata Anko, menyilangkan kakinya, dan kedua tangannya dilipat di depan dada. "Aku hanya dapat memilih untuk membunuhnya, sudah pasti aku akan mati di tanganmu. Bukankah begitu?" Anko mendongak ke samping, mendapati bahwa Naruto tidak berekspresi selain memandang kosong ke arah Mito yang terbaring.

Sama sekali tidak membalas, Naruto memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, di benaknya pun dia tidak pernah membayangkan untuk membunuh siapa pun lagi. Kesalahan di masa lalu yang terpancing oleh emosi itu, Naruto tidak ingin mengulanginya lagi, dan berpikir cukup sekali dia memiliki masa lalu pahit itu. Selain itu, Anko sudah seperti bibi baginya, maka dari itu, dia yakin tidak akan pernah bisa melukai Anko bahkan sehelai rambut pun, karena Mito mungkin tidak akan pernah memaafkannya.

Sekeluarnya dari rumah sakit, Naruto kembali ke apartemennya. Sejak pagi dimulainya masalah itu, dia tidak bisa menghubungi Hinata. Panggilan yang dilakukan olehnya selalu dialihkan, sementara suara operator mulai membuatnya sebal.

Tepat di depan pintu apartemen gadis itu, Naruto terdiam ingin mengetuk. Ia tidak punya keberanian, dan bertanya-tanya apakah gadis itu pun melihat apa yang disimpannya rapi dalam lemari di kamarnya. Lembar foto serta data diri, juga berita-berita pembunuhan yang dilakukannya kepada orangtua gadis itu.

Jika pada akhirnya memang begitu, dia mungkin tidak punya alasan untuk berada di sisi gadis itu lagi. Namun sang nenek sudah menemukan Hinata, Naruto berpikir dia tidak akan bisa melepaskan gadis itu. Ia telah memprioritaskan Hinata dalam segala hal di hidupnya. Hanya karena Mito sudah mengetahuinya, dia tidak boleh lengah sedikit pun mulai detik ini juga.

Naruto kemudian memberanikan untuk mengetuk pintu, menekan bel sebanyak yang dilakukannya. Dia menunggu gadis itu di depan pintu itu selama setengah jam penuh dengan banyaknya pertimbangan. Dan ketika dia telah berani melakukannya, dia mendengar pintu itu terbuka.

"Hinata."

"Ada apa dokter malam-malam ke sini?"

"Aku ingin bicara," kepala Hinata tertunduk, gurat kesedihan tampak jelas di wajah cantiknya yang biasanya ceria dan murah senyum. Hati Naruto mencelus, dia ingin sekali memeluk gadis itu, membisikkan kata maaf sebanyak yang dia bisa, tetapi kenyataan yang ada, dia tidak dapat melakukan semua yang diinginkannya itu. Maka dari itu Naruto hanya terdiam masih terus memandanginya. "Apa aku tidak boleh masuk?"

"Saya tidak tahu," kata Hinata, dia terlihat kebingungan. "Dokter, apakah foto-foto itu adalah saya?" data diri itu tak dapat disangkal olehnya, pertanyaan itu jelas seperti pertanyaan bodoh, tetapi Hinata tidak menyesalinya. "Kenapa?"

"Aku adalah pembunuhnya," Hinata mendongak memandang pria yang ada di depan pintunya. "Aku yang membunuh orangtuamu."

Seketika bayangan gelap di mana sosok misterius mengenakan sepatu putih itu tampak terlihat jelas sebagai sosok dokter Uzumaki yang selalu baik kepadanya. Rambut pirang pemuda SMA yang mengenakan seragam sekolah, dan aroma pepermin yang menguar kini telah dikenalnya kembali sebagai aroma si pembunuh daripada dokter Uzumaki.

Hinata kemudian terjatuh, merasakan ketakutan menjalar ke sekujur tubuhnya dari ujung kakinya yang mulai dingin. Ia merangkak sedikit demi sedikit usai terjatuh lemas untuk memasuki rumahnya, sementara dokter Uzumaki menyusulnya ke dalam.

"Kakimu sedang sakit, kenapa kamu bergerak seperti itu," kepedulian Naruto terkesan aneh, karena sejujurnya Hinata sendiri tidak dapat merasakan apa-apa lagi selain rasa takut yang sedang dihadapinya itu tentang si pembunuh di malam itu.

Naruto menjatuhkan diri di atas tubuh Hinata yang lemah. Mengunci tangan gadis itu. Dia mengamati Hinata yang semakin pucat. "Ibumu yang memulainya, dan aku berpikir untuk mengakhiri semua rasa sakitnya itu."

Hinata mendadak keluh, karena kenyataan di balik tentang dokter Uzumaki yang memasuki dunianya mulai tampak jelas, jika pria itu mungkin saja juga ingin membunuhnya.

Namun, pria itu seakan-akan tahu apa yang dipikirkan oleh Hinata, dan tanpa menunggu lama untuk menyangkalnya dengan berkata, "Aku menyukaimu, dan aku berjanji pada ibumu untuk menjagamu."

Hinata membeku, dia masih seperti mayat hidup di bawah si pembunuh.

"Aku sungguh menjagamu—aku mencintaimu, dan semua itu sangat tulus," Naruto kemudian memeluk Hinata, mengunci tubuh mungil gadis itu dalam pelukannya, sementara Hinata sendiri tidak dapat melakukan apa-apa selain situasi sulit yang mengharuskan dia menentukan pilihan antara dua kemungkinan mengenai perasaannya kepada pria yang di atasnya itu, dan semuanya menjadi serba salah, karena Naruto benar-benar mengusai semua permainan itu dengan sangat sempurna. Satu-satunya orang yang tidak punya celah untuk menyerang kembali adalah dirinya.

□□□□□□

BERSAMBUNG

暗い雲 / Dark Cloud (Close Pre-Order!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang