"tell me what do you wanna do..." Heksa berucap pelan, halus—hampir berbisik. lengan kanannya terasa sedikit kebas sebab sudah hampir lima belas menit dijadikan bantal sebuah kepala berambut agak basah dengan aroma sampo miliknya.
mata Heksa menerawang menembus langit kamar, lantas melanjutkan, "...when tomorrow comes?"
rahang kanan Heksa bertumpu sedikit pada ujung kepala pemuda dipelukannya. sesekali, jemarinya memainkan surai yang belum sepenuhnya kering tersebut—sesekali lagi, jemarinya mengelus. sesekali yang mengulang, berubah menjadi sebuah repetisi yang berkelanjutan.
dipeluk Heksa, ada yang sudah terlalu nyaman untuk disuruh berbicara. matanya terpejam dan napasnya terdengar lebih teratur, walau nyatanya ia jauh dari kata tertidur sebab dua jarinya kerap bermain di salah satu kancing kemeja pemuda yang memeluknya.
Satya suka merasakan damai pada posisi ini. mungkin hal ini akan berdampak buruk untuk jangka waktu panjang, mungkin Satya nggak seharusnya jatuh pada posisi yang sama tiap tengah malam di ujung minggu, pada pelukan hangat yang sama, yang sudah menawarkan ini dari sekian lamanya.
tapi belakangan ini Satya mengkhianati dirinya sendiri, Satya yang jahat, kini merasa lebih brengsek.
"mnnggak tau," Satya simpel menggumam, tetap pada posisinya, tanpa mau repot - repot membuka mata.
jemari Heksa masih mengelus, sepasang matanya masih menerobos jauh ke balik langit - langit kamar, menuju sebuah andai yang mungkin—hanya mungkin—bisa berubah jadi nyata di lain hari.
"tiga menit lagi," bisik Heksa. matanya melirik sekilas ke arah jam digital di atas nakas kecilnya.
"what's so special about Sunday selain hari istirahat se Indonesia?" Satya bertanya, dan Heksa bisa mendengar dengusannya.
Heksa sudah nggak heran. seorang Satya Adigama akan selalu susah untuk ditarik membicarakan hal - hal yang lebih serius. seperti menghindari kubangan air sehabis hujan di jalan yang ia lalui sepulang sekolah, Satya melongkapinya dengan lihai.
padahal, Heksa selalu bertanya mengenai semua hal yang sudah siap ia berikan. namun Satya, Satya seolah nggak membutuhkan apapun walau Heksa tawarkan satu dunia beserta isinya. seolah di telapak tangan Satya sudah tergenggam semua yang ia mau, termasuk seorang Heksa Pandupraja yang rela menjadi apapun untuknya.
kemudian masih pada posisi yang sama, Satya nggak menunjukan tanda - tanda ia akan buka suara. dahinya masih dengan sangat nyaman beradu dengan dada Heksa yang menyalurkan hangat sampai kepada pipinya. untuk beberapa saat, hanya deru halus napas keduanya yang menjadi pengiring hening. sampai ketika angka jam di atas nakas Heksa berubah menjadi empat urut angka kembar dan suara bip bip mengganti hening kamar beberapa kali.
perlahan, Satya membuka matanya. ia bisa merasakan dada Heksa bergetar sekilas, pemuda itu terkekeh samar seraya bergumam, "it's here,"
Satya tadinya sama sekali nggak berniat berucap apapun atau merubah posisinya. apapun itu, Satya nggak merasa 00.00 di hari ke delapan bulan Desember berhak mendapat respon spesial darinya. jadi ia hanya mengerjap beberapa kali, hendak kembali memejamkan mata tapi Heksa menggeser badannya perlahan.
mendongak, Satya bertanya pelan, "kenapa?"
ada senyum teduh yang tercipta dibibir Heksa. dengan halus ia menyingkirkan surai yang menutupi dahi Satya, menikmati bagaimana sepasang mata Satya menatapnya ingin tau untuk beberapa saat.
kemudian tangan Heksa beralih, turun ke rahang Satya, menangkupnya dengan lembut dan pasti. beberapa saat, Heksa hanya balas menatap pemuda di pelukannya. meneliti sepasang manik cokelat tua yang selalu menatapnya dengan pandangan nggak terbaca, terlalu samar, dan abu - abu. berbanding terbalik dengan miliknya yang terlalu luas dan terbuka, sekali tatap Satya akan tau maksudnya.
gue nggak tau harus ngelewatin berapa kali delapan Desember biar bisa jadi segalanya buat lo. mungkin ribuan, nggak tau, bisa jadi cuma tiga. tapi buat hari ini, biarin gue jadi satu - satunya orang yang bikin lo bahagia.
diliriknya sekilas bibir ranum Satya, dengan gerakan pasti Heksa memajukan wajahnya, memejamkan mata.
pada bayangnya, hanya senyum Satya yang memenuhi. menoleh menatap Heksa dengan sorot mata yang akhirnya nggak membuat Heksa bertanya - tanya lagi. begitu manis dan yakin, begitu nyata dan pasti. dibayangnya, ada semua hal yang Heksa inginkan—selalu.
lalu di sini, ada ranum bibir Satya yang dilumat Heksa perlahan dan dalam, beritme lambat dan lembut, ada yang hampir terlena, terlebih ketika Heksa mencecap - cecap kecil permukaan bibirnya.
Satya nggak pernah ingin apapun, bahkan ketika Heksa rela melakukan segalanya—Satya tetap yakin ia nggak menginginkan apapun dari pemuda itu, dan Satya sudah yakin tanggal delapan juga nggak akan mengubah fakta tersebut. tapi nyatanya, tiap - tiap lumatan yang Heksa beri tengah malam ini menarik Satya makin dalam, terus, makin jauh.
Satya melenguh kecil ketika Heksa melumat bibir bawahnya untuk beberapa saat sebelum menggigitnya pelan dan menariknya lembut. kemudian ada sebuah jeda singkat sampai Heksa mengecup manis bibir Satya di akhir.
Satya lantas menelan ludah, masih enggan membuka mata entah untuk alasan apa bahkan ketika Heksa menjeda ciumannya. ada sebuah perasaan takut yang kembali merayap memenuhi dada, sebelum kemudian hangat menyapa dahinya.
dengan perlahan, Satya membuka mata.
"happy birthday," bisik Heksa tepat di tempatnya meninggalkan potongan rasa yang nggak terbalas.
selamat tanggal delapan, selamat ulang tahun, Satya.
—
setengah dua belas malem nangisin ulang taun songhun obatnya ya heehoon👍🏻
J.
KAMU SEDANG MEMBACA
enchanted.
Fanfictionyou smell familiar, like a new bedsheet after years i finally come home; like that one particular shampoo i disliked back in highschool but still managed to emptied the bottle every months. you sound familiar and i knew exactly what it sounds like;...