leave it there (i'll pick it up) | JayKe

738 76 5
                                    

Bandung nggak sedang bersedih—lebih tepatnya Bandung nggak punya waktu untuk bersedih di bulan Agustus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung nggak sedang bersedih—lebih tepatnya Bandung nggak punya waktu untuk bersedih di bulan Agustus. apalagi jalanan Jatinangor yang kini penuh dengan kendaraan yang didominasi plat B.

melihat deretan kendaraan yang diam nggak bergerak di depannya, Jay menghela napas dan melepas dirinya pasrah ke sandaran jok Toyota Crown keluaran 2003nya. di dalam kendaraan tuanya itu hanya Jay sendiri—mungkin ditemani gelisah di dalam dadanya yang nggak bisa hilang ditambah frustasi yang muncul karena macet sore ini. nyatanya cerah Bandung sore itu tetap nggak bisa menghilangkan setumpuk perasaan yang Jay bawa dari Jakarta.

sembari menerawang jauh menembus kaca mobil, Jay menyangga siku kanannya di pinggir jendela dan mengusap bibir bawahnya menggunakan punggung jari tangan kanan. macet membuat Jay berhenti memegang kendali mobil—membuat Jay punya waktu untuk memikirkan rentetan alasan dibalik dua kakinya yang kini kembali menginjak tanah Bandung.

tipisnya batasan antar ruang memori kepala Jay membuatnya dengan mudah mengingat sosok itu. kulit sawo matang yang berkilau tiap kali beradu dengan sinar milik sang surya, bibir merah berisi yang Jay ingat rasanya khas serupa strawberry bercampur rokok tiap kali bibir Jay singgah sebentar di sana, pun surai cokelat tua yang jatuh di bawah alisnya dengan natural. gambaranya jelas tercetak di dalam bayangan Jay, seolah semalam mereka baru saja berjumpa—seolah nggak ada satu hari tanpa keduanya saling mengucap sampai nanti, sampai bertemu lagi. seolah kedatangan Jay hari ini nggak diiringi penyesalan yang membuatnya sulit terlelap bahkan ketika detik jam berteriak nyaring menggema di dua telinganya, waktu sudah sampai di lima pagi lagi.

tapi Jay tetap terjaga, bertanya - tanya apa jadinya apabila hari itu ia nggak melepas tangan si manis dan mundur meninggalkan Bandung demi hidupnya. bertanya - tanya, kenapa duduk bersebelahan dengan Jake di dalam kamar kos sempit nomor 08 terasa lebih hidup dibanding masuk ke dalam ruangan pribadinya di bangunan kantor setinggi 17 lantai, bertatapan langsung dengan papan namanya yang jelas terukir di atas sebuah title "Konsultan Pajak".

memikirkan Jake setelah tiga tahun adalah satu - satunya hal yang membuat Jay masih merasa hidup. pun kemudian ia ingat, memang Jake yang mengajarkannya untuk hidup.

"marah, Jay," Jake menepuk sekilas lutut Jay yang tertekuk hampir menyentuh dada kali itu. yang lebih muda menatap Jay dengan pandangan bingung dan kagum sebelum kembali buka suara.

"masa di selingkuhin nggak marah? marah, dong!" mendengarnya, Jay cuma bisa meringis kecil dan menggaruk tengkuknya yang ia bisa jamin 100 persen nggak gatal.

"wah, bener kata Sunghoon," Jake berdecak dan menggelengkan kepalanya, masih dengan tatapan kagum yang kini bercampur dengan nggak habis pikir.

"Sunghoon ngomong apa?"

"kamu aneh," jawab Jake cepat. "tapi menurut aku ya, Jay... kamu, sih, aneh banget,"

Jay hampir protes sedikit, tapi keburu Jake tertawa.

"maaf! tapi kalo aku jadi kamu, seenggaknya aku bakal maki - maki mantanku," Jake menatap Jay jenaka sebelum dengan luges mengulurkan tangannya melewati Jay, membuat si kakak tingkatnya itu mesti menahan napas dan mengalihkan pandangannya dari tulang selangka Jake yang kali itu berjarak hanya beberapa centi dari wajah Jay. menelan ludah, Jay bisa merasakan pipinya menghangat.

Jake hanya menggumam, "er, jauh," sebelum kembali duduk di samping Jay dengan sekotak rokok mentol di tangan kanannya.

si manis tersenyum, "you should express what's inside,"

jari lentik itu "mengetuk" dada Jay dua kali sebelum beralih membawa sebatang rokok ke antara dua bilah bibir miliknya.

"gak baik, Jay," Jay melirik Jake ketika ucapannya terdengar agak menggumam akibat rokok yang bertengger manis di antara bilah bibirnya.

Jake kini sibuk menyalakan rokoknya dengan lighter besi sementara Jay sibuk memikirkan kemungkinan adanya pilih kasih ketika Tuhan menciptakan Jake.

"gak baik kalo kamu diem pas seharusnya kamu marah. gak baik kalo kamu terus - terusan bertingkah kayak it's fine that she cheated on you with your closest cousin, Jay." jake menatap Jay tepat di mata. hanya persis satu detik ketika Jay mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang bertengger tanpa baterai di sebrangnya. ia bisa mendengar Jake mendengus geli.

selanjutnya yang Jay tau, Jake sudah menarik dagunya dan mengunci rapat dua sorot irisnya ke dalam milik Jay sebelum berkata, "marah, Jay. tugas kamu yang pertama. karena itu emosi yang paling gampang buat dirasain ketika kita hidup dikelilingin anjing jelmaan manusia."

seumur hidupnya, Jay paling sering kehilangan kata - kata. entah karena dunia lagi - lagi bersikap nggak adil atau karena badannya bergerak nggak sinkron dengan kerja otaknya. tapi yang jelas, Jake adalah orang pertama yang membuat Jay kehilangan kata karena ia terkesima. garis bawahi, terkesima.

dengan jarak sedekat kita dengan kematian, Jake tersenyum kecil persis di depan wajah Jay sebelum dengan cepat menghisap rokoknya dan menghembuskannya persis di wajah si kakak tingkat.

"jake—ugh-"

"marah, Jay. aku tunggu,"

sekeras apapun Jay mencoba, selama apapun ia menunggu, nyatanya bayang - bayang Jake dengan segala tingkahnya nggak bisa enyah dari dalam kepala Jay. dipaksa, atau dengan sukarela.

nggak hanya dua tiga malam Jay meluangkan waktu untuk membakar jejak Jake dengan tegukan alkohol di tiap bulannya. ia berharap ketika terbangun esoknya, bukan bayangan Jake dengan kulit sempurnanya yang berkilau terlapis peluh yang muncul di kepalanya, terengah ketika Jay menatapnya leluasa dari atas seraya mengelus lembut surai si manis. ia berharap sosok Jake akhirnya hanya hadir sebagai kilasan masa lalu yang sudah nggak berarti satu hal pun untuk Jay. berharap pada akhirnya rindu berlapis rasa bersalah yang Jay genggam tiap hari selama tiga tahun menguap bersama udara. nggak menyisakan apapun kecuali rasa lega.

namun semua tau—Jay tau, berharap adalah haknya, tapi yang terjadi di kemudian hari bukan kuasanya.

jadi Jay hanya bisa terus berharap dan berdoa. kalau memang ia nggak diizinkan melepas sisa bayang - bayang Jake yang masih melekat bersamanya, seenggaknya izinkan dia hidup sampai hari dimana ia sanggup membawa dua kakinya kembali ke Bandung dan berhenti tepat di depan Jake lagi.

—kemungkinan bakal dilanjut tp who knoowwwwwsss ni ada di draft dari lama banget jeez

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


kemungkinan bakal dilanjut tp who knoowwwwwsss ni ada di draft dari lama banget jeez

J.

enchanted. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang