narendra dan jian tanpa judul | heejake

224 14 1
                                    

kita sama - sama diam, sama - sama menahan ponsel kita agar tetap menempel ke telinga, kemudian juga sama - sama lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kita sama - sama diam, sama - sama menahan ponsel kita agar tetap menempel ke telinga, kemudian juga sama - sama lelah. Di hari - hari biasa aku akan memaki karena kamu menelpon dan membiarkan hening menguasai sampai selesai, pulsanya nanti habis! kataku. Biarpun dalam gelap di bawah selimut aku mati - matian menahan rasa yang selalu berhasil meledak tiap kamu di sana, bersuara atau tidak.

namun malam ini beda. kamu berdiri di pekarangan rumahku, menatap sendu jendela putih yang lampu ruangannya dibiarkan menyala. di jarak enam meter kamu berdiri, bergeming menatap tepat ke mataku di sini.

"Narendra..." aku menyapa duluan, tersenyum kecil, tapi kamu masih diam. aku melirik jam di dinding kamar yang menunjukan pukul sebelas malam dan menghela napas.

"Naren... kenapa nggak pulang?"

ada yang menggelitik tak nyaman di dadaku ketika kamu benar - benar tidak bergerak, tidak bersuara, hanya menatap dengan sorot mata yang membuatku gelisah. aku tahu sorot itu. sekali dua kali kamu menunjukannya ketika hal - hal berat menimpa dan kamu frutasi, tidak bisa memperbaiki keadaan dengan dua tanganmu sendiri. aku ingin tahu kenapa, ingin memelukmu dan mungkin berkata semua akan baik - baik saja.

namun nampaknya aku telat. langkah kakiku 'ku tahan ketika melihat Mas Abi keluar dari rumah dan berjalan mendekatimu yang masih bergeming. aku masih menatap dari sini, mataku bergerak gelisah, lagi - lagi melirik jam di dinding. Mas Abi paling tidak suka ketika kita bertemu lewat dari jam sembilan malam.

tapi mungkin aku salah, karena yang berikutnya terjadi adalah Mas Abi memelukmu erat. aku semakin gelisah! pasti ada hal yang tidak kamu ceritakan padaku, sementara kita selalu saling bercerita, Narendra... baru tempo hari aku bilang aku ingin melanjutkan studiku, mencoba menggapai cita - cita menjadi diplomat sementara kamu bilang kamu lebih tertarik mengurus teras kopi kecil milikmu dan Bara. Baru tempo hari, Narendra, kamu berjanji tidak akan menutupi apapun...

"Dimatikan saja, ya, Bu, lampunya? jendelanya juga ditutup saja,"

Dengan dahi mengerut tipis, aku menoleh ke arah pintu kamarku yang tertutup. samar - samar aku mendengar suara Bapak dari balik pintu.

"Terlalu gelap, Pak... biarlah lampunya nyala, tutup saja jendelanya,"

"Lalu Narendra bagaimana?"

"Ada Abi, Pak. Biar Abi yang menenangkan. Bapak masuklah, tutup jendelanya. Ibu belum sanggup. Melangkah ke sana rasanya seperti Jian masih ada..."

"Narendra, apapun yang datang pasti akan pergi, pun yang bernyawa juga akan mati. Jadi jangan sampai sia - siakan waktu menangisi yang sudah pasti."

—J

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


J.

enchanted. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang