"Dia berdiri di ujung batas, menanti angin membawa segalanya pergi.".......
Dengan tangan bergetar hebat, Hima berusaha membuka pintu pintu yang terkunci. Tapi semua sia-sia sebab dia merasakan tenaganya seolah menguap ke angkasa. Dalam sekejap, dia merosot di depan pintu, terisak keras guna menumpahkan segala kesedihan yang belum sempat dia selesaikan. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang penuh luka. Gadis itu berjalan gontai menuju tepi ranjang, berdiri tepat di hadapan cermin besar yang memantulkan bayangannya yang berantakan.
Helai-helai rambutnya jatuh menutupi wajah, lengket oleh keringat dan air mata. Matanya memerah, bekas tangis masih jelas terlihat di pipinya, sementara hidungnya juga memerah. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri.
Tiba-tiba, suara keras menghantam gendang telinganya. "Pembunuh!"
Seruan itu menghantam gendang telinganya, tajam dan menyakitkan. Refleks, gadis itu menutup telinga, berusaha melawan. "Tidak, aku bukan—,"
"Lo pembunuh! Lihat, berapa banyak yang mati karena lo hidup! Ayah lo, ibu, bahkan sahabat lo!" suara-suara itu terus bergema, menerobos pertahanannya.
"Pembawa sial!"
"Jalang sialan!"
"Bangkai!"
"Dasar pembunuh! Busuk!"
Anak itu ketakutan, seolah tangan-tangan bayangan gelap berusaha menyergap dan menelannya. Dia menutup mata dan telinganya rapat-rapat, mencoba menghindar dari suara-suara yang mengusik pikirannya. Tetap saja, usahanya sia-sia sebab suara yang bergema itu berasal dari otaknya, menghantam berkali-kali kepalanya. "Aku bukan...." dia bergumam, hampir putus asa.
"Sayang...."
Bisikan lembut itu menyadarkannya, menyebabkan gadis muda itu menatap cermin di depannya. Bukan sosok dirinya, melainkan sosok lain yang tersenyum lembut, begitu lembut sampai gadis itu merasa sebuah sentuhan kecil dapat menghancurkannya. Suaranya tercekat di tenggorokan, ucapan yang ingin dia suarakan entah lenyap kemana. Tatapannya penuh ketidakpercayaan namun begitu kentara harapan di sudut netranya. Suara gadis itu tergagap. "Bu-bunda?"
Tangannya bergerak maju menyentuh cermin. Tepat sebelum sampai, senyum di wajah sosok itu mendadak hilang tergantikan menjadi senyum penuh kebencian. Mata sosok itu menyorot dingin menusuk tepat di retinanya yang telah basah. Dalam hitungan detik wajah sosok itu berubah menjadi wajah yang nyaris hancur. Cairan pekat merah nan amis keluar dari mata, hidung, mulut, dan telinga. Bibirnya semakin naik menampilkan gigi penuh darah yang mengerikan. Tiba-tiba percikan api terlihat, ledakan terdengar dan sosok itu berucap dingin sebelum lenyap dilahap api. "Pembunuh!"
Gadis itu beringsut mundur dipenuhi oleh ketakutan. Dia menjerit, persis lolongan anjing jalanan. Raungan yang merobek keheningan malam, namun tersirat sembilu pedang yang menyayat tulang. Suara-suara yang sebelumnya hilang mendadak datang, melesak langsung menikam hatinya.
"Pembunuh! Dasar pembunuh!"
Gadis itu meringkuk, menyusutkan tubuhnya, menutup mata dan telinganya rapat-rapat. "Tidak... aku... a-aku... bukan... kalian...," dia berusaha menjelaskan, tetapi kata-katanya terhenti, tak bisa terucap.
Bahkan, semakin bergema suara itu, semakin menyakitkan torehannya, semakin berceloteh dia, pada akhirnya tidak ada kata-kata lengkap yang berhasil keluar dari mulutnya. Dia tak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Dia menjerit ketakutan, menjambak rambutnya kemudian menghantamkan kepalanya sendiri ke cermin berkali-kali hingga cermin itu pecah. Darah merembes menutupi pandangannya. Rasa nyeri dia abaikan. Tangannya bergetar menjari pecahan kaca asal. Telapak tangannya tersayat, darah kembali merembes, hampir memenuhi ruangan dengan aroma amis.
"Pembunuh!"
Suara itu kembali bergema, menyebabkan gadis malang itu semakin tak mampu untuk sekedar mengambil udara. Jemarinya yang telah penuh dengan darah telah menemukan pecahan kaca yang tepat. Menatapnya dengan senyum putus asa sebelum mengarahkan yang tepat di jantungnya. Berupaya menyelesaikan nafas terakhir yang dia punya.
Hello, this is my first story
Hope you like itTbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang yang Tak Pernah Ada
General FictionGadis itu hanya ingin pulang. Kembali ke rumah yang sudi memberinya kehangatan. Namun kenyataannya, dia telah terbelenggu oleh rantai kebencian, tak bisa dilepaskan. Dia ingin bertahan sedikit lebih lama, tapi orang yang dia percaya menghianatinya...