Chapter 9 : Menyusuri Bayang

13 2 2
                                    

"Buruknya lisanmu,
adalah awal kehancuranmu"

.......

"Sadar lo?" tanya Alka ketika melihat gadis yang terbaring di depannya perlahan membuka mata.

Gadis itu hanya menatap sekilas Alka, lalu mengalihkan tangannya dari samping tubuh ke atas mata, menutupi pandangannya. "Memalukan, kan? Gue hidup bisanya cuma ngerepotin," gumam Hima dengan suara pelan.

Alka sedikit tersentak mendengar suara Hima yang penuh rasa putus asa. Dia menghela napas pelan, lalu mengangkat tangan gadis itu dari matanya, dengan lembut tapi tegas.

Hima menatap kaget remaja di depannya. "Apa?"

"Lo kuat," suara Alka terdengar tegas, dengan nada yang tak bisa ditawar. Dia teringat bagaimana gadis itu menahan demam sekaligus terpapar panas selama hampir satu jam, membuatnya merasa kagum dan sedikit cemas. Apalagi, petugas UKS yang beberapa saat lalu memeriksanya berasumsi kalau gadis itu bahkan belum sarapan.

Namun, kata-kata itu malah membuat Hima merasa lebih terpuruk. Sosok ksatria yang lebih dulu meninggalkannya muncul kembali dalam ingatannya, menghancurkan pertahanan emosionalnya. Matanya mulai berair, dan dengan suara bergetar, dia berseru, "Bohong!"

Alka menghela napas panjang kali ini, mencoba mengatasi perasaan bersalah yang perlahan menyusup. "Pulang nanti bareng gue," ucapnya tegas.

Gadis penyuka hujan itu menatap Alka dengan bingung. "Nggak. Gue nggak mau merepotin lo!"

"Kalau lo kenapa-napa di jalan lebih merepotkan. Lo itu beban, sama kaya gue," balas Alka, nadanya tajam, namun kalimat terakhirnya hampir tak terdengar.

Hima tersenyum getir.

Mereka berdua terdiam, hanya suara jarum jam yang bergulir pelan terdengar di ruangan UKS yang sepi. Namun, keheningan itu tiba-tiba terpecah saat Alka berdiri dengan cepat. Hima yang saat itu memejamkan matanya ikut terkejut. "Kenapa?"

Alka memalingkan pandangannya untuk melihat gadis itu. Dia menggeleng cepat. "Sialan! Gue lupa ngasih dia makan," batinnya mengumpat.

Remaja itu bergegas menuju pintu UKS. Sebelum benar-benar keluar, dia kembali melihat Hima dengan serius. "Jangan kemana-mana," ujarnya, lalu menghilang di balik pintu.

Setelah tak melihat punggung Alka lagi, Hima kembali tersenyum sembari menatap langit-langit ruangan. "Dia mirip ayah," gumamnya pelan, penuh rasa rindu yang tak terkatakan.

Beberapa menit kemudian, pintu UKS kembali terbuka. Kali ini, Anam dan Bayu yang masuk. Mereka tampak khawatir.

"Hima, lo nggak papa?" tanya Bayu dengan nada cemas.

Hima yang tadinya menatap langit-langit ruangan, segera menoleh ke arah Bayu dan Anam. Senyumnya tiba-tiba melebar, dan dengan nada bercanda, dia menjawab, "Nggak papa kok, cuma kepleset terus jatuh ke jurang, makanya pingsan sebentar."

Terdiam sejenak, Bayu terkejut dengan jawaban Hima yang selalu asal-asalan itu, lalu tertawa kecil. "Lo ini, bercanda mulu. Seriusan, gimana kondisi lo?"

Anam yang di samping Bayu juga menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Kita beneran khawatir, Ma."

Menatap kedua sahabatnya dengan netra penuh binar kehangatan, dia menjawab. "Serius, gue nggak apa-apa, cuma kecapean aja. Kalian nggak perlu khawatir berlebihan."

Dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, Bayu membalas, "Yah, lain kali kasih tau dulu kalo mau masuk jurang, biar kita siap-siap nolongin."

Hima tertawa kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah berbagi lelucon dengan mereka. "Iya deh, nanti gue kasih undangan resmi. Oh ya," dia menjeda, menahan pening yang mendadak datang. "Jangan lupa bawa uang sebagai ucapan bela sungkawa,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pulang yang Tak Pernah Ada Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang