"Saya lapar. Bisa panggilkan ayah saya? Dia dokter bedah."
.........
Jantung Hima hampir melompat dari tempatnya ketika piring terlempar tempat ke arahnya dan langsung pecah ketika menghantam lantai. Matanya tertuju pada sang adik yang menatapnya nyalang, tatapan hewan buas yang penuh kebencian.
"Kenapa... kenapa bukan kamu yang mati! Bangkai–," suaranya tercekat diantara tangis. "Bangkai sepertimu seharusnya mati!
Mata Hima terbeliak kaget. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, nafasnya memburu dengan cepat. "Mimpi sialan!"
Gadis itu langsung duduk, memukul kepalanya sendiri begitu keras, mengutuk mimpi sialan itu. Dia bergegas bangkit ketika netranya melihat jam di dinding telah menunjukkan angka empat lewat 15 pagi. Menjalankan rutinitas pagi dari membersihkan rumah sampai memasak sarapan, dia lakukan sendiri.
Sekitar pukul 06.17 pagi ketika Hima selesai dan mulai menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Terkadang, dia tersenyum. Lalu untuk beberapa detik kemudian senyumnya lenyap digantikan wajah yang muram. Dia melakukannya dengan khidmat sampai tak menyadari kedatangan ketiga anggota keluarganya.
Yang berjalan paling depan, dengan pakaian abu yang memberi keanggunan pada penampilannya adalah Yunara, adik perempuan dari sang ibu. Wajahnya terpahat nyaris sempurna, hidung mancung dengan bibir tipis ranum yang sangat cantik. Alisnya bagai sulaman pengrajin paling terampil, melengkung seperti bukit landai. Mata hitam pekat dengan garis mata turun ke bawah, menunjukan kelembutan dalam sekali pandang.
Di sebelah kanan belakang wanita itu adalah seorang gadis muda usia dua puluh tahunan. Perawakannya tinggi dan tegas bak pohon pinus, terlihat dingin namun penyayang. Tentu saja, itu dinilai dari mata dan lekuk rahangnya. Mata almond sewarna madu, kemudian rahang bawah berlekuk lembut. Kulitnya putih pucat, seperti susu di bawah sinar matahari. Rambut terurai, lurus, menambah bingkai keindahan parasnya. Namanya Nawasena Zilvanyea, si sulung tiga bersaudara.
Kemudian yang terakhir adalah seorang gadis berseragam SMA sama seperti Hima, namanya Zaviera Kalana. Parasnya elok, tinggi semampai dengan lenggangan yang nampak lemah. Matanya bulat besar dihias oleh alis dan bulu mata yang tebal. Memiliki gigi kelinci yang memancarkan kelembutan wajahnya.
Ketiganya menuju meja makan dan duduk begitu saja mengabaikan kehadiran Hima. Gadis itu tersenyum paksa, memperhatikan ketiga orang itu yang seolah-olah menganggapnya tidak ada. Dia tak ingin memikirkannya lebih lama, oleh sebab itu ia menarik kursi untuk ikut sarapan.
"Siapa yang mengizinkanmu duduk?"
Suara dingin terdengar mengintimidasi. Hima yang hampir mendaratkan bokongnya langsung berdiri gugup, bicaranya tergagap, "A-aku,"
"Pergi! Tidak ada yang mengizinkanmu duduk atau sarapan." Wanita dewasa di sana kembali bersuara dingin, ditujukan kepada gadis yang sudah bersusah payah membuat sarapan sendirian. Sedangkan Hima, dia masih bergeming. Mulutnya terbuka, hendak bicara. Namun kembali menutup mulutnya. Suaranya hilang di tenggorokan.
Masih tak mendapati pergerakan Hima, wanita itu menaikkan pandangannya, menatap salah satu dari ketiga keponakannya itu dengan dingin. Alisnya menukik tajam, di sudut matanya terlihat jelas kebencian. "Masih tak mendengar? Sudah tuli, hah?"
"A-aku dengar,"
Gadis itu langsung bergegas meninggalkan meja makan. Melangkah dengan terburu menuju lantai atas menyisakan dua saudaranya dan sang Bibi menyantap sarapan. Padahal, jikalau boleh jujur dan mempublikasikannya, dia sangat lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang yang Tak Pernah Ada
قصص عامةGadis itu hanya ingin pulang. Kembali ke rumah yang sudi memberinya kehangatan. Namun kenyataannya, dia telah terbelenggu oleh rantai kebencian, tak bisa dilepaskan. Dia ingin bertahan sedikit lebih lama, tapi orang yang dia percaya menghianatinya...