"Biarkan semesta menjatuhkanmu,
Sampai dia lelah dengan bangkitmu".....
Gadis itu masih berlari meski keringat sudah membasahi tubuhnya. Bahkan, ketika seragamnya terasa lengket karena keringat, nafas tersenggal-senggal, dan kaki terasa nyaris lepas dari tempatnya, dia sama sekali tak berhenti.
Sang baskara telah tenggelam bergantikan awan kemerahan yang menggantung tebal. Temaram lampu jalan menyala redup, menemani langkah gadis yang tengah mendekap kucing kotor. Dia menggerutu, mengumpat, dan sekali-kali memaki kebodohannya sendiri. Jelas saja, salahkan dia yang salah memilih belokan ketika melewati persimpangan karena terlalu panik membuat gadis itu harus memutar jalan dan menghabiskan waktu serta tenaga yang lebih besar.
Setelah melewati langkah yang panjang itu, akhirnya dia bisa bernafas lega begitu sampai di depan rumah minimalis berpintu hitam. Dia mengambil nafas dalam kemudian membuka pintu yang tak terkunci dengan gugup.
"Aku pulang!"
Hening.
Gadis itu semakin gugup lalu menurunkan kucing yang sejak tadi di dekapnya ke lantai yang dingin. Dia kembali melangkah dan berhenti di depan sekat ruang yang memisahkan ruang tamu dan dapur.
Hima berdiri mematung ketika memperhatikan Yuna, dan kedua saudaranya tengah menikmati makan malam bersama. Gadis itu menatap mereka sendu. Wajah mereka yang terlihat bahagia tanpa hadirnya membuatnya sakit tepat di dada kiri. Dia memukul dadanya dan berjalan mendekat. "Bi, ma–,"
"Aku muak hidup bersama dengan orang yang tak berguna. Orang yang menyebabkan kita kehilangan ayah bunda. Orang paling menjijikkan yang pernah ada. Mungkin, mati pun tak ada yang menangis untuknya," kalimat sinis terlontar dengan lancar disertai lirikan kebencian yang menyakitkan.
Zilva melirik sekilas adik keduanya, kemudian beralih melihat ke arah pintu yang memisahkan dapur dan ruang tamu. Ya, ada gadis itu. Dia menggenggam erat sendok di tangannya. Emosinya seperti sedang di didihkan, entah marah pada 'masa lalu' dan 'bangkai itu' atau marah pada ucapan adiknya, dia tak tahu.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Yuna. Wanita itu menggenggam erat sendok ditangannya menahan emosi.
Luka kembali mereka torehkan pada Hima. Padahal, ia sangat berharap bisa makan malam bersama di meja yang sama dan perasaan sayang yang sama. Berbagi hangat yang membuat nyaman, hingga lupa akan kejamnya dunia.
Gadis itu berjalan mendekat ke arah ketiganya hendak meminta maaf akan kesalahannya malam ini. Namun, gebrakan meja yang tiba-tiba membuatnya terlonjak kaget.
"Aku selesai. Nafsu makanku hilang saat melihat pembunuh itu," cecar Viera kemudian bangkit dengan kasar menuju kamarnya.
Melihat kepergian sang adik bersamaan dengan kalimat kasar yang terlontar, Hima hanya bisa menatap sendu adiknya itu. Tak lama, hal yang sama dilakukan oleh Zilva. Luka tak kasat mata seolah tengah menganga lebar.
Gadis itu masih diam menunggu bibinya beranjak dari sana juga. Tapi, Yuna tak kunjung beranjak dari duduknya. Dia menunggu dengan jantung berdebar kencang. Secara tiba-tiba, wanita itu berdiri dari kursinya dan menjambak keras Hima.
"Ampun bik, maaf." Cicitnya menahan sakit.
Mengabaikan keluh kesakitan anak itu, Yuna menarik kasar Hima menuju kamar. Bukan kamar tidur, melainkan kamar mandi. Tempat yang begitu dibenci Hima di saat seperti ini.
Yuna menghempaskan kasar tubuh anak itu sampai membentur dinding kamar mandi. Lututnya pun membentur lantai yang keras. Rasa nyilu dan perih menjalar di hampir seluruh badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang yang Tak Pernah Ada
General FictionGadis itu hanya ingin pulang. Kembali ke rumah yang sudi memberinya kehangatan. Namun kenyataannya, dia telah terbelenggu oleh rantai kebencian, tak bisa dilepaskan. Dia ingin bertahan sedikit lebih lama, tapi orang yang dia percaya menghianatinya...