Chapter 2 : Temu

24 9 16
                                    

"Ini memanglah aku,
Yang menurutmu tak punya malu"

.............

Sore itu terik mentari terpancar jelas menimbulkan hawa panas yang begitu menyengat. Tak ayal semua orang merasa gerah termasuk Hima yang saat itu baru pulang sekolah.

"Panaaas!" keluh gadis itu sembari menyeka keringat yang bercucuran di kening dan pelipisnya.

Dia mengedarkan pandang mencari sesuatu yang mungkin bisa mengurangi rasa panasnya. Lalu, manik indahnya menangkap seorang pedagang es krim di seberang jalan. Dengan langkah lebar, ia menyebrang jalan menghampiri pedagang es krim tersebut.

"Bang, es krimnya dua!"

Pedagang eskrim itu tertegun sejenak memperhatikan penampilan gadis di hadapannya. Rambut anak SMA itu terkucir acak-acakan, seragam pitihnya juga nampak dekil dan kotor. Tak cukup di situ, bau kotoran kambing juga tercium dari seragamnya.

"Neng orang gila?" tanya polos pedagang itu pada Hima karena merasa heran.

Gadis SMA itu terdiam. Sejurus kemudian ia megeringai jahil.

"Ya, orang gila yang baru kabur dari rumah sakit jiwa." Gadis itu menjeda ucapannya sembari menatap si pedagang yang terlihat agak syok. "Abang tau kenapa?"

Pedagang itu menggeleng.

Hima memberi isyarat tangan agar bisa berbisik pelan, "Karena yang gila itu dunia, bukan pasiennya."

Segera pedagang itu menjauh seolah berpikir bahwa gadis cantik ini benar-benar pasien gila. Namun, kewaspadaannya segera hilang saat tawa Hima terdengar keras.

"Udah-udah, berhenti! Jangan buat orang takut, Neng. Jadi, mau beli es krim apa? Coklat, vanila, strawberry, atau mau Abangnya aja?" goda pedagang itu setelah merasa tenang.

Hima menanggapi dengan kelakar pula, "Boleh. Setelah sangkakala tertiup, ya. Buat sekarang, coklat aja deh."

"Wooke!"

Sembari melayani pelanggannya, pedagang itu terus berbasa-basi dengan Hima. "SMA kelas berapa, Neng?"

"Sebelas,"

"Wah, bentar lagi lulus, ya? Habis lulus mau lanjut kemana?"

"Melanjutkan hidup."

Pedagang itu tergelak, menggelengkan kepalanya menanggapi jawaban Hima. "Maksudnya itu, habis lulus SMA mau ke universitas mana, ambil jurusan apa. Begitu lho, maksudnya,"

"Ambil hikmahnya aja."

"Pftt—," jelas, pedagang itu kembali menahan tawa. "Hikmah apa, Neng?"

"Hikmah kesabaran, Bang. Kita diminta bertahan hanya sampai pulang."

Oke. Abang itu sedikit tak mengerti kemana arah pembicaraan itu lalu memilih diam. Giliran Hima melihat penuh perhatian bagaimana pedagang tersebut menyusun eskrim-eskrim coklat menjadi bentuk lucu. Tiba-tiba terbesit ide menarik di kepalanya. "Bang, bisa ngegombal, nggak?"

Abang itu mendongakkan kepalanya untuk melihat Hima. Lalu, menghirup nafas panjang sembari menutup mata.

"Aku jualan eskrim karna nggak mampu menjadi penjabat," ucapnya pelan.

"Kenapa Bang?"

"Karena pikiranku, sudah habis buat mikirin kamu."

Hima menahan senyumnya yang meleleh degan godaan itu, "melting Bang. Lagi-lagi!" gadis itu bersorak heboh.

Pulang yang Tak Pernah Ada Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang