Prolog

95 17 2
                                    

Namaku Hanindya Shaviqa, aku menganggap hidup itu layaknya pesawat kertas. Dibuat hanya sebagai rekaan semata. Pesawat kertas terbang hanya karena menuruti perintah angin, dia tak tahu kapan akan mendarat.

"Hanin! Makan dulu, yuk!"

Nah, yang memanggilku barusan itu adalah Bunda Mala, pemilik sekaligus pengasuh di panti asuhan yang aku tempati. Dari kecil aku tak pernah tahu siapa sebenarnya orang tuaku. Entah mengapa mereka menaruh ku di tempat ini, tapi jangan salah, aku bersyukur banget bisa berada di tempat ini.

"Hanin, boleh pinjam kaos kaki kamu, nggak?"

"Boleh, Ay, ambil aja di lemari aku."

Itu Ayla Panduwinata teman aku sekamar di panti asuhan ini. Samar-samar aku ingat dia ke sini sekitar umur enam tahun. Dia baik, pendiam, penurut, dan segala hal yang baik ada di dia. Ngga percaya? Ikutin aja, deh, cerita aku.

Dan yang lagi beresin buku itu namanya Kavara Mayla Azura. Dia adalah teman cerita bagiku. Orangnya bijaksana, pandai mengambil keputusan, sekaligus genius. Sayangnya, dia orangnya rada cuek, sih.

Oke lanjut ke filosofi pesawat kertas. Namanya aja pesawat kertas, dibuat dari kertas yang sifatnya mudah robek, mudah kusut, mudah lusuh. Layaknya hati yang terkadang disinggung dikit aja mikirnya udah berlarut-larut, itu berarti hati itu ngga bisa tergores walaupun sedikit.

Pesawat kertas yang terlalu sering diterbangkan, lama-kelamaan akan rusak dengan sendirinya, entah itu disebabkan karena sayap pesawat yang robek atau hal lainnya. Demikian juga dengan hidup, tak akan ada bahagia dan sedih yang abadi, semua akan sirna dan kembali datang pada masanya.

Terlalu sering diterbangkan dengan harapan dan dijatuhkan dengan kenyataan, terkadang membuat diri ini ingin merobek sayap milikku sendiri. Namun, ada beberapa hal yang membuat semua itu enggan aku lakukan, hanya karena orang-orang di sekitarku.


Gimana?
Lanjut ngga, nih?
Yuhuuu, jangan lupa vote and komen

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang