Aku duduk di kantin dengan mereka, yah, mereka yang baru saja kuingat tentang kedatangannya. Entah mengapa tiba-tiba saja pikiranku tertuju pada memori satu tahun yang lalu. Indah dan tak terduga. Dari pertemuan sesimpel itu berakibat pada kedekatan yang sampai saat ini masih berkelanjutan.
Mereka menambah warna pada hari yang lalu masih kelabu. Oh, iya, aku belum memperkenalkan mereka, ya? Oke, yang duduk berhadapan denganku ini namanya Sahiya Jenaya dia bukan anak yang kalem seperti aku, anaknya suka melakukan hal yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki.
Di samping Sahiya ada Reksa anak kelas IPS, dia teman dekat Farazz. Yah, sifatnya jauh berbeda dengan Farazz mestinya. Jika Farazz senang membuat lawan bicaranya melayang tinggi, berbeda dengan Reksa yang pilih-pilih cewek untuk dibikin baper.
Mataku tertuju pada Farazz yang sedari tadi duduk hingga saat ini, masih saja mencoba menggoda Leyna. Mereka berdua sudah terbiasa seperti itu semenjak pertama kali kenal. Apalagi kalau inget di atas panggung dahulu. Antara ngakak dan baper, sih, lihatnya.
"Ley, nama kamu itu cuma ada lima huruf aja, loh. Tapi kok bisa, ya?"
Leyna mengernyitkan alisnya. Menatap Farazz serius.
"Tapi kok bisa, sih, memenuhi otakku terus." Farazz melanjutkan kalimatnya.
Leyna langsung menghempaskan dirinya ke kursi. Di sisi lain Reksa tertawa dengan kelakuan Farazz. Apa-apaan, sih, Farazz ngga jelas banget emang.
Eits, tapi jangan salah, Leyna salting, loh. Dia tersenyum seperti tersipu malu. Kedua pipinya merona. Permen yang Leyna pegang aja sampai dia lempar ke muka Farazz.
"Terus, ya, Ley kamu ta—" ucapan Farazz dipotong cepat sama Reksa.
"Kalau kamu baper, Ley, percaya, deh, Farazz cuma bisa jawab ngga bisa nanggung, hahaha."
"Iya, Ley, jawabnya gini, yaudah kita pacaran aja. Gitu Ley." Lagi-lagi perkataan Farazz membuat Leyna terbang.
"Ku ajak kau melayang tinggi dan ku hempaskan ke bumi, ku mainkan sesuka hati nanananana." Sahiya menimpal dengan sepenggal lirik lagu.
"Diem, ya, Sahiya!" Leyna mendengus kesal.
Aku hanya bisa mengulum senyum. Sejenak aku melihat seisi kantin. Ramai dengan siswa yang perutnya sudah didemo sama cacing. Mataku berjalan mengikuti sudut-sudut kantin dan berhenti pada satu objek.
Terkejut, senang, dan tak percaya, itu adalah kalimat yang pantas untuk mendeskripsikan keadaanku saat ini. Dia? Dia ada di sini?
Oh, tak hanya itu dia berjalan ke arah tempat yang aku duduki. Mau apa dia? Mataku seketika berbinar. Salah tingkahku yang sangat kelihatan kambuh seketika. Aku merapikan rambutku. Mengeluarkan parfume berukuran mini yang ku simpan di dalam saku. Mengoleskannya pada telapak tangan.
Dan benar sekali, kakinya berhenti di meja yang aku duduki. Dia menepuk pundak Farazz dan Reksa bersamaan. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum sangat manis bahkan melebihi gula, duh, tambah meleyot aku. Satu lagi, dia duduk di depanku atas permintaan Farazz yang menyuruh Sahiya bergeser. Matanya kecoklatan, hidungnya mancung, alis matanya nyaris sempurna, dan wangi tubuhnya yang seketika membuat aku langsung yakin bahwa dia orang yang bertemu dengan aku di mall saat itu tepatnya setahun yang lalu, dia orang yang aku tunggu dan aku harapkan kedatangannya. Dipertemukan dengan dia kembali merupakan kebahagiaan yang sangat aku tunggu-tunggu.
"Woi, Nin, denger ngga aku ngomong barusan? Bengong aja." Aku terlonjak kaget. Aku langsung memutuskan kefokusanku pada dia karena ucapan Farazz.
"A... Apa? Ngomong apa?" Tuh, kan, aku gugup.
"Hanin, ih." Farazz nampak sangat kesal, mungkin karena celotehannya ngga aku dengerin. Ya, maklumlah kalau aku ngga dengerin dia. Karena dari otak, mata, hati bahkan seluruh indera tubuh ini fokus ke arah dia.
"Udah, santai, kenalin nama aku Bhumi sekelas sama Farazz, Reksa, dan juga Leyna," ucapnya dengan mengulurkan tangan ke arahku.
Dengan cepat aku langsung membalas uluran tangan dia.
"Hanin." Lagi-lagi dia tersenyum, aku menatapnya cukup lama, hingga tak sadar kalau tanganku dengan dia masih menempel.
"Ada lemnya, Nin?" tanya Leyna dengan berbisik di telingaku. Sesegera mungkin aku langsung menarik kembali tanganku.
Tunggu, apa dia lupa siapa aku, ya? Sepertinya iya. Secepat itu dia melupakan aku yang tak bisa berpaling dari bayang-bayang dirinya. Tapi ngga apa-apa sudah terbiasa, kok.
"Leyna." Suara Leyna membangunkan lamunanku. Aku menatap Leyna yang mengulurkan tangannya dan langsung ditampis oleh Farazz.
"Ngga ada salam-salaman gini, ya, udah kenal!" seru Farazz kepada Leyna.
"Yeee, apaan, sih." Leyna mengusap-usap punggung telapak tangannya.
"Kapan mau didor Leynanya, Farazz?" tanya Sahiya.
"Mati, dong."
"Yang mati itu cuma perasaanku kepada yang lain, karena cuma kamu yang dapat menghidupinya."
"GARING!" timpal Reksa dengan lantang.
Kepalaku terasa penuh dengan berbagai pertanyaan yang masih belum mendapatkan jawabannya. Bahkan, pikiranku rasanya bising dengan kalimat tanya yang berusaha menemukan ujungnya.
Sekali lagi aku memberanikan menatap ke arah Bhumi, ritme jantung ini mendadak cepat. Panas dingin ngga karuan menyerang tubuhku. Rangsangan yang diterima oleh tubuhku ini sepertinya berlebihan, deh, masa sampai segininya. Ini hanya melihat Bhumi belum hal lainnya, ngga tau lagi aku dengan diriku sendiri.
***
"Ayla, ikut aku ke ruang guru bentar, yuk!" Ayla mengangguk.
Jam sekolah telah usai. Aku berjalan bersama Ayla menyusuri koridor sekolah. Tumpukan buku berada di kedua telapak tanganku. Apakah Ayla membantu? Iya, dia membantu dengan membawakan doa agar segera sampai di ruang guru dan menaruh beban yang ada di tanganku itu.
Bukan hanya itu, aku di sini harus mengimbangi langkah kaki Ayla agar dia tidak cemas dan bingung sendiri karena aku tinggal karena bisa-bisa kalau itu menyerang Ayla, hal yang memalukan akan terjadi pada dia bukan hanya dia tapi aku yang kena imbasnya. Seperti jatuh karena kedorong tubuh Ayla contohnya.
Aduh, mbak cantik, temenmu ini butuh bantuan, loh. Susah napas, nih, pundaknya juga mau remuk, belum lagi tangan yang capek megang buku 32 siswa, batinku sebab Ayla tak menawarkan bantuan kepadaku.
Bruk
Tuh, kan aku jatuh. Sempet kesel sama orang yang menabrakku. Buku berserakan ke mana-mana. Belum lagi aku yang jatuh tersungkur mana banyak anak cowok lagi.
Aku mendongakkan kepalaku. Posisiku masih sama hanya saja mataku yang bolak balik beralih melihat penampakan yang sungguh luar biasa ini. Orang yang menabrakku tak lain adalah Bhumi. Dia masih berdiri layaknya patung dengan pandangan terkunci di mata Ayla.
Ayla pun sama, mata Ayla dan Bhumi seakan tak ada yang mau mengalah untuk memutuskan kontak mata tersebut. Benar kata orang bahwa mata juga dapat berbicara. Seperti Ayla dan Bhumi, mereka tak mengungkapkan isi hatinya pun aku sudah tau kalau ini cinta pada pandangan pertama.
Apa bisa ya Hanin dan Bhumi menjadi kita? Kira-kira Farazz sama Leyna itu ada hubungan ngga, sih?
Yukk ikuti terus ceritanya Hanin ya!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Pesawat Kertas
Teen FictionAku duduk dengan tatapan kosong di kantin, kalimat yang baru saja terdengar sangat menohok ke hati membuat pikiranku berputar pada satu topik. "Mengapa harus dia, sih? Mengapa tolak ukur orang itu harus dia?" tanyaku pada diri sendiri. Ngga, aku ngg...