Teruntuk ayah dan ibu, lihatlah anakmu sudah berada di ambang antara remaja dan dewasa. Yang ku pertanyakan, di mana kalian? Jujur sih, aku ingin memeluk kalian layaknya teman-temanku. Aku hanya ingin bertemu.
Tanganku semakin tergerak di atas kertas putih dengan menjalankan bolpoin warna biru langit. Aku tak pernah marah ditempatkan jauh dari kalian. Hanya saja terkadang hati serasa ingin memberontak untuk meluapkan segalanya.
Pikirku telah dibawa lamunan setinggi-tingginya, hujan semakin deras. Terasa sekali bisikan angin yang meniup di antara kedua nadi ini. Kali ini tidak terasa sunyi karena suara rintik yang terdengar menjadi melodi indah.
Aku tergeletak dalam ruang hampa. Menatap Ayla yang tertidur pulas dibalut dengan selimut warna jingga. Tanpa aba-aba dan permisi cairan bening keluar dari sang kelopak mata.
Yah, aku menangis. Tuhan begitu hebat dengan merangkai ceritaku seperti ini. Entah mengapa setiap aku menatap Ayla semua rasa kesedihan yang seharusnya ngga aku tumpahkan menjadi pecah dengan sendirinya. Kini aku semakin larut dalam melodi yang sedari tadi berbunyi hanya untuk menemani sepi.
Sudah, ayo tidur, ayah dan ibumu mungkin juga merindukan, kataku dalam hati.
Aku bergegas menutup buku warna abu-abuku dan segera menaruhnya di antara buku-buku yang lain. Aku menghampiri kasurku sedikit menatanya dan berbaring dengan menutup setengah tubuhku. Terasa dingin menusuk angan-angan dalam dada.
Aku mencoba memejamkan mata menutup semua bayang-bayang yang sedari tadi menampakkan diri. Hingga pada akhirnya aku terlelap dengan memeluk erat cita-cita yang masih terus aku langitkan.
***
Mentari pagi memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Nampak indah dengan gradasi warna merah serta jingga. Aku masih heran, mengapa orang lebih menganggap senja itu indah, padahal fajar sendiri tak kalah indah dengan senja.
"Pagi, Hanin," sapa Ayla.
"Ya," jawabku singkat.
Mataku terasa berat, rasanya magnet kasurku terus saja menarik aku untuk kembali merebahkan badan. Ditambah dengan selimut yang sepertinya meronta-ronta untuk kembali membalut tubuhku.
Tidak! Aku harus bergegas bangun. Dengan lunglai aku berjalan menuju kamar mandi dan segera melakukan ritual wajib tiap pagi.
"Kava, bantuin Bunda nyiapin makanan." Duh, teriakan Bunda terdengar hingga dalam kamar mandi.
Belum lagi dengan mang Ojang yang menghidupkan musik seperti ada kondangan.
"Hanin cepetan," ujar Kava dengan mengetok pintu.
"Bentar, udah selesai, kok," jawabku dari dalam kamar mandi.
Aku melihat Kava dengan membawa seperangkat alat mandi.
"Bukannya kamu disuruh bantu Bunda, ya?" tanyaku.
"Seharusnya, sih, iya, berhubung aku bangunnya kesiangan jadi Bunda minta tolong yang lain. Udah, ah, mau mandi aku."
Kini kaos olahraga menempel di tubuhku. Aku mengepang rambutku. Menatap diriku dalam pantulan cermin.
"Ya, Tuhan, ternyata aku cantik juga, ya," gumamku sembari mengikat kepangan rambutku.
Setelah aku merasa diriku sudah siap aku segera mengambil tasku dan keluar dari kamar untuk menuju ke ruang makan.
"Hei, Hanin, aku berangkat dulu, ya," sapa teman-temanku yang sedari matahari belum muncul sudah siap-siap untuk sekolah. Semangat sekali mereka, tidak seperti aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pesawat Kertas
Ficção AdolescenteAku duduk dengan tatapan kosong di kantin, kalimat yang baru saja terdengar sangat menohok ke hati membuat pikiranku berputar pada satu topik. "Mengapa harus dia, sih? Mengapa tolak ukur orang itu harus dia?" tanyaku pada diri sendiri. Ngga, aku ngg...