Dia

92 10 4
                                    

Mungkin ini awal dari cerita indah yang seharusnya terjadi ~ Hanindya

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Nusantara  High School. Kata orang di luaran sana, sih, sekolahnya megah. Sekarang aku bisa melihat sendiri kalau sekolahnya memang megah, bukan katanya lagi. Bangunannya yang tinggi dengan halaman sekolah yang begitu luas disertai taman yang menyuguhkan bunga-bunga segar nan merona cukup membuatku takjub dengan sekolah ini.

Bagaimana tidak? Sekolah unggulan yang diidam-idamkan banyak orang, termasuk diriku sendiri. Masuk ke sini bukan hal yang mudah, kalau ngga kaya setidaknya pandai untuk masuk sini. Kalau ngga ada kemampuan itu semua? Yah, perkirakan sendirilah.

Aku berjalan di koridor sekolah dengan mengenakan pakaian SMP, rambut di kepang dua, dihias dengan tali merah dan putih sebagai tumpuannya.

Masa putih abu-abu baru ku awali hari ini. Jika semua orang yang baru melangkahkan kakinya di sini, dengan pakaian yang bertuliskan sekolah menengah pertama, hiasan rambut seperti yang ku kenakan berpikir bahwa masa ini adalah masa yang paling menyenangkan, masa di mana mereka bisa mendapatkan kekasih di hari MPLS, masa di mana mereka melihat betapa kerennya kakak kelas, pasti sangat berbeda dengan aku yang harus berpikir apa episode selanjutnya dari ceritaku?

Yah, aku takut. Rasa takut seakan ingin menguasai diriku. Aku takut apa yang selama ini aku impikan, aku dambakan, serta yang menjadi cita-citaku malah tak sesuai dengan takdir yang sudah tertulis.

Satu lagi, aku takut dengan kecewa yang akan melanda setelah ini. Entah bagaimana Tuhan menuliskan episode untuk kedepannya. Layaknya bayang-bayang yang berjalan mengikuti kita, seperti itulah aku yang selalu melewati episode-episode hebat bagi diriku sendiri.

Aku menatap Ayla, terlihat tidak ada beban sama sekali di matanya. Mungkin sebahagia itu dia berada di antara banyak orang yang beruntung ini.

"Ay, bagus banget, ya?" Ayla hanya mengangguk dengan kedua sudut bibir yang terangkat.

Jangan tanyakan lagi betapa bahagianya kami bisa masuk sekolah ini.

"Eh, aku mau ke kelas dulu, ya," ucap Kava sambil melambaikan tangan.

Kava berada satu tingkat di atas kami, dia sudah lebih dahulu merasakan betapa senangnya belajar di sekolah ini.

Semua anak kelas sepuluh diharap segera berkumpul di lapangan!

Suara yang sepertinya bersumber dari toa sekolah terdengar jelas di telinga. Aku dan Ayla bergegas ke lapangan sekolah.

"Ay, ayo cepat dikit, ah, jalannya," pintaku pada Ayla.

"Bentar, roknya ini sempit, susah dibuat jalan." Aku hanya menanggapi jawaban Ayla dengan helaan napas yang terdengar sedikit kasar.

Bukan sekali dua kali Ayla seperti, hampir setiap hari aku dibuat kesal hanya dengan keleletannya.

Ayo, Ayla agak cepat dikit, Ya Tuhan, gini banget punya temen, batinku.

Ayla malah tebar pesona dengan senyum-senyum layaknya tamu undangan yang ditunggu oleh banyak orang. Di sisi lain, aku yang merasa malu menjadi pusat perhatian karena semua siswa telah berada di tengah lapangan.

"Ayo, kalian berdua agak cepat, durasi, nih."

Aku hanya mengikuti langkah Ayla dengan pasrah yang berjalan begitu anggun bak Putri Solo.

Gapapa, Nin, sabar, batinku dengan mencoba menenangkan diri.

Langkah kakiku sudah mendekati barisan siswa kelas 10. Tanpa pikir panjang aku mempercepat langkah tanpa mempedulikan Ayla yang kesusahan berjalan karena roknya itu.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang