TUJUH BELAS

207 15 0
                                    

Happy Reading-!

Pagi hari hadir dengan begitu cerah, berbeda dengan keadaan di kediaman keluarga Bratadikara yang tengah berduka. Putra kedua mama telah tiada kemarin sore, dan akan dimakamkan pagi ini. Pasalnya jenazah Arvind tiba saat hari sudah menggelap, sangat tidak memungkinkan untuk dimakamkan hari itu juga. Alhasil pagi ini mereka akan memakamkannya.

Di dalam peti berwarna putih, di sanalah tubuh Arvind terbaring, dengan kemeja putih dan jas hitam yang membalutnya. Kaos tangan putih serta kaos kaki putih. Perasaan mama benar-benar sedang hancur. Terakhir kali ia melihat putra keduanya adalah saat dirinya bertengkar di pagi hari, sehingga membuat Arvind memilih untuk keluar dari rumah. Dan kemarin tiba-tiba anaknya pulang hanya tinggal tubuhnya saja, hanya tertinggal nama.

Mama benar-benar tidak pernah memprediksi hal ini, sakit rasanya. Kehilangan anak, saat dia benar-benar belum pernah membahagiakan anaknya.

"Mas, ini barang-barang Arvind." Bara memberikan sebuah tas berwarna hitam milik Arvind yang berisi barang-barang milik Arvind.

Theo menerimanya, "Saat-saat terakhir dia, bagaimana?" tanya Theo.

Bara menggeleng, bahkan untuk mengetahui saat-saat terakhir sahabatnya saja, dia tidak tahu. "Nggak ada yang tahu." 

"Kata mama semalam, pakaian Aksa berdarah?"

"Iya, adik lo mimisan banyak banget, mimisannya nggak normal. Bahkan buku terakhir yang dia tulis, penuh dengan noda darah."

"Aksa sakit apa?"

"Ginjal dia rusak."

"Aksa, sering kesakitan?"

Bara mengangguk, "Sering,"

"Mas," panggil Bara.

"Hm?"

"Aksa titip ini buat lo." nampak, Bara menaruh sebuah voice recorder berwarna hitam milik Arvind di telapak tangan Theo.

"Ini apa?"

"Voice recorder, gue tahu, Arvind paling sayang sama lo."

Theo menggenggam erat voice recorder hitam tersebut. "Saya tebak, warnanya hitam ya?"

"Kok lo tahu, jangan-jangan lo nggak buta lagi,"

Theo terkekeh, "Buta itu bukan mainan. Saya tahu, karena Arvind sering bilang ke saya, kalau dia suka warna hitam, sejak kecil."

"Pantes barang dia apa-apa hitam." Bara memaklumi.

"Kok lo nggak nangis Mas?" tanya Bara tiba-tiba.

"Mama sudah menangis sedari kemarin. Kalau saya nangis, siapa yang nguatin mama? Kalau saya nangis, juga pasti Aksa bakalan ngeledek saya, cengeng lo, dia pasti bilang gitu."

"Lo tahu nggak sih Mas? Gue sempat khawatir,"

"Khawatir?"

"Arvind, pergi setelah melakukan kriminal. Gue khawatir aja, dunia bakalan nggak memihak dia, orang-orang sekitarnya bakalan menjauhi dia, bakalan memaki dia, tapi ternyata, malah sebanyak ini orang yang dateng."

"Aksa itu anak baik, soal kriminal yang dilakukan pasti ada alasannya. Sebenarnya, saya mau bertanya sama Aksa perihal alasan dia, tapi belum sempat saya bertanya, dia sudah pergi Bar,"

🌹🌹🌹

Mama benar-benar tak kuasa menahan tangis, kala melihat peti anaknya masuk ke dalam liang lahat. Rasa hatinya benar-benar seperti di sayat-sayat. Mama terus memeluk Theo, menyembunyikan wajahnya di balik dada Theo, dia tidak sanggup melihat peti anaknya yang masuk ke dalam sana.

Pelangi Dalam Gelap [END] [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang