Lembaran luka baru

35 1 0
                                    

Sepaket, ketika mencintai seseorang, disitulah luka juga akan kita rasakan

Hari-hari galauku telah berlalu.
Kehidupanku juga harus tetap berjalan. Kunikmati kesendirian dengan semua hiruk-pikuk pekerjaan.

Nita datang. Sahabat sedari SMPku hingga saat ini. Dengan usilnya dia tiba-tiba menggodaku ingin mengenalkan dengan teman dari temannya.

"Ren, kamu tak kenalno koncone koncoku ya.. Areke kerja di perusahaan ritel, bagus areke. Jajalen sek, ojok nolak"

Gaya Nita yang sudah selalu tahu kalau aku butuh orang baru sebagai obat. Dia ceria dan dewasa, tipenya abdi negara. Hehehe. Tapi memang selalu bisa PDKT dengan abdi negara.

Aku diam tidak menjawab Nita. Tiba-tiba..

"Assalamu'alaikum.."

Nomor baru mengirimiku pesan whatsapp.

"Eh, Nit, sapa iki? Jangan-jangan.... "

Nita dengan gaya nyablaknya, "Iyo iku si Rudy. Koncone koncoku sing ate tak kenalke kamu"

"Woo iki, mbok ya ngomong sek. Moro-moro dikirim ae nomerku nang de'e"

....

Lima bulan kami PDKT, ya, aku dan Rudy, yang dikenalkan Nita.

Rudy lebih dewasa daripada aku. Dia begitu bijaksana ketika memutuskan suatu hal. Dan kebetulan sedang mencari istri untuk dinikahi.

"Iren.. Mohon maaf sebelumnya. Saya dan orang tua saya ingin datang silaturahim ke rumahmu. Apakah diizinkan?"

Mak deg..
Apa yang harus aku jawab? Bisakah aku izin ke orang tuaku? Sudah siapkah aku? Bagaimana ini?

"Bu.. Iren mau ngobrol kalih Ibu.."

"Rencange kulo wonten sing bade mriki kalih tiyang sepahe. Pripun, Bu?"

Ibu tidak bereaksi apa-apa. Tapi kemudian menjawab.

"Sopo nduk? Yen kamu wes kenal, dan sreg, monggo.. Ibu manut anake. Anake ibu sing ate menjalani kehidupan setelah pernikahan"

"Rudy, Bu. InsyaAllah sae.. "

...

Rudy datang bersama orang tuanya. Sesuai adat lamaran orang Jawa. Tiga bulan, lalu kami menikah.

Disinilah letak luka baruku.
Siapa sangka, keluarga Rudy sangat sensitif. Rudy memang belum memiliki rumah sendiri, kami tinggal dengan mertua dan kakak-kakaknya. Dalam rumahnya, terdapat keluarga besar yang tinggal bersama.

Kebiasaan kami sangatlah timpang. Aku sedari lulus sekolah sudah bekerja sebagai pekerja kantoran. Sedangkan keluarga mereka lebih menitikberatkan jika perempuan tidak diperkenankan bekerja di luar rumah, harus di rumah. Ini yang dinamakan 'kolot'. Bagi mereka, perempuan itu tugasnya hanya dapur, kasur, sumur. Tidak ada yang lain.

Aku yang bekerja di luar, tidak diberi sedikitpun waktu untuk istirahat.

Seolah 'diospek' sebagai anak baru di dalam keluarganya.

Masak untuk keluarga besar tanpa dibantu.

Mungkin ini jadi pelajaran, aku seharusnya menyiapkan mental dan pengalaman di dapur. Karena kita tidak bisa memilih siapa mertua kita. Mau itu kolot ataupun yang lainnya, ya tetap, harus terima.

Aku di rumah selalu masak yang sederhana. Tiba-tiba disuruh masak ini itu. Jelas kelabakan.
Setiap waktu selalu jadi sasaran marah orang tua dan kakak ipar.

Tanpa jeda, tanpa toleransi. Meski aku pulang dari kantor, aku wajib memasakkan mereka untuk makan malam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wajan Rumah MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang