Di umurku yang sudah hampir seperempat abad, aku tidak pernah tahu kalau aku mudah terluka dengan hal yang menurut orang lain sepele.
Terkadang, aku menentang bagaimana cara mereka memandang dunia.
Sebab aku tidak memakai kacamata yang serupa.
Mereka menganggap apa yang kurasakan adalah hal biasa.
Krisis manusia seperempat abad, begitu pikir mereka.
Mungkin bisa jadi iya, tapi bisa jadi juga tidak.
Mungkin krisis ini sudah ada sejak lama, sejak dahulu kala. Hanya saja baru kali ini semakin terasa membebani.
Ada anak kecil dalam diriku yang tubuhnya penuh luka.
Luka yang tidak pernah kusadari ternyata tidak pernah sembuh.
Kepercayaan itu hampir habis.
Melahirkan ideologi nyeleneh yang kini mulai kudalami.
Aku jadi tidak suka berbagi kebahagiaanku dengan dunia. Seakan ada pencuri yang siap mengambil semua bahagia jika aku memamerkannya.
Aku tidak suka pendapat kawan yang terlalu membenarkan sebuah kelahiran. Bahwa kita hidup pasti selalu diharapkan.
Sebab aku tidak melihatnya dalam diriku yang lelah dan penuh luka.
Aku juga tidak suka berbagi kesedihan. Sebab aku takut ditinggalkan ketika mereka tahu aku aku penuh lebam dan jahitan.
Ternyata luka si kecil terlalu menganga lebar.
Aku tidak berpikir aku harus segera menemukan bahagia melalui ikatan pernikahan, pun tidak juga dengan tangisan bayi di tengah malam.
Untuk saat ini, aku membenci itu semua.
Sebab aku takut ditinggalkan. Aku takut menjadi mereka. Aku takut tidak bisa menahan diriku dengan ikatan darah yang memberikan kita pola.
Aku takut.
Dan takut itu tengah melahapku, entah sampai kapan.
Aku, si anak kecil yang tanpa sadar sudah dewasa, hingga saat ini, masih akan mencari kebenaran atas apa yang ingin aku lakukan.