Bab 30

17 6 8
                                    

Robert memajukan badannya, menatapku tajam, dan berkata secara perlahan-lahan, "Gua mau lu jadi pacar gua. Paham?"

"Apa enggak salah? Kamu sehat?" Tanganku meraba dahinya.

Pemuda itu langsung menggapai tanganku dari keningnya dan menggenggamnya. "I love you, Bella."

Kulepaskan genggamannya dan berujar, "Robert, kamu, 'kan, tau kalau aku sudah punya pacar."

"Gua sudah berusaha menghilangkan lu dari pikiran gua. Tapi, enggak bisa. Semakin gua berusaha, lu semakin nempel di otak gua. Terus terang, lu sudah buat gua hilang akal, Bel. Jadi, gua enggak peduli walaupun lu sudah punya pacar. Enggak apa-apa, deh. Gua jadi yang kedua. Gua rela. Yang penting lu tahu perasaan gua ke lu benar-benar tulus. Lu benar-benar luar biasa bagi gua, Bel."

"Kamu yakin?"

"Gua enggak pernah seyakin ini."

Astaga! Tak kusangka Robert begitu mencintaiku. Sampai-sampai dia jadi budak cinta dan mau menjadi yang kedua. Oops, sebenarnya bukan yang kedua, tetapi yang ke-.... Kalimat yang kuungkapkan dalam kalbu itu tak terselesaikan karena tawa mulai menggelitik hati.

"Heh, kok bengong? Kenapa?"

"Ng ... enggak," sahutku gelagapan. "Tapi, kamu tau, 'kan, konsekuensinya."

Robert menghembuskan napas dengan berat, lalu berujar, "Ya. Tau. Gua enggak boleh protes apapun yang lu lakukan dengan Enrico. Tapi, ...."

"Tapi? Apa?"

"Tapi, gua harap lu segera bosan dengan cowok songong itu."

"Songong?"

Robert bergeming sembari melipat tangannya di depan dada. Matanya menyipit dan bibirnya membentuk garis keras.

Sementara itu, aku pun diam dengan pikiran yang menelaah kira-kira peristiwa apa yang membuatnya berpikir Enrico pemuda seperti itu. Sampai akhirnya beberapa saat kemudian, kesunyian yang tercipta di antara kami berakhir kala aku bercakap, "Nah, gini nih. Kalau urusan di lapangan terbawa-bawa. Kamu masih enggak terima karena jadi runner up di turnamen basket kemarenan? Atau karena waktu itu kamu ke...." Telapak tanganku menutupi mulut. Aku ingin tertawa, tetapi tidak enak hati dengannya.

"Stop it, Bella! Jangan ingetin gua dengan kejadian yang memalukan itu." Matanya menatapku lebih tajam daripada sebelumnya.

"Lu masih marah, ya, sama Enrico?" godaku.

"Siapa yang marah? Gua cuma enggak suka aja dengan sikapnya yang seperti enggak berdosa itu."

"Itu berarti kamu masih simpan amarah. Tapi, aku akui kejadian itu ...." Aku tidak bisa menahannya lagi. Tawaku lolos begitu saja dari mulut.

"Terusin aja, Bel. Lu kayaknya happy banget lihat gua ketampar si songong itu waktu kami berebut bola, lihat orang-orang pada ketawain gua waktu itu. Jangan-jangan lu salah satu dari mereka."

Di sela napasku yang terengah-engah karena merasa geli, aku berucap, "Sorry. Sorry. Aku enggak bermaksud menertawakan nasib sialmu waktu itu." Tawa yang sempat reda, kini kencang kembali.

"Berhenti ketawa, enggak? Kalau enggak berhenti juga, gua cium lu di sini biar lu malu seperti gua waktu di turnamen itu."

Aku tidak bisa mengerem tawa meski tangan kiriku menutupi mulut. Malah telunjuk tangan kanan kugerakkan ke kanan dan ke kiri bolak balik untuk menyatakan 'tidak'.

"Eh, dibilangin stop malahan masih lanjut. Okay kalau begitu." Robert langsung menggeser kursinya hingga menempel pada kursiku, lalu memelukku dan mendekatkan wajahnya.

Revenge of The Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang