Bab 21

15 6 7
                                    

"Heh! Diam! Diam! Pak William datang, "pinta Alex yang sedang berdiri di dekat jendela dengan kepala yang ditolehkannya kepada kami semua.

Sontak suara hiruk-pikuk seperti pasar tradisional hilang tak berbekas. Tiada bunyi yang terdengar, kecuali langkah kaki yang semakin lama semakin mendekati auditorium sekolah. Tidak sampai setengah menit, derit pintu pun terdengar dibarengi kemunculan orang yang sudah kami tunggu.

"Selamat siang, Pak," salamku dan teman-teman kompak.

"Selamat siang. Anak-anak, karena pementasan tinggal satu setengah bulan lagi, jadi jadwal latihan ditambah. Hari Minggu jam 13.00 sampai 17.00. Nah, untuk mempersingkat waktu, sekarang kita mulai dari adegan pertama. Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra. Siap! Roy, Alex, Tom, masuk!"

Ketiga pemuda yang dipanggil guru ekstrakurikuler drama sekaligus sutradara itu bergegas naik ke atas panggung dan berdialog. Adegan demi adegan terus berlangsung. Latihan drama "Rama dan Sinta" dapat berjalan dengan baik hingga pukul 17.00, waktu berakhirnya kegiatan itu.

"Wah, Bel. Jadwal ditambah lagi, nih. Rasanya aku jadi tambah capek, deh," keluh Gabriella saat kami berjalan keluar dari ruangan.

"Masa sih, La? Jangan berperasaan seperti itu, ah! Semangat, Gabriella Sayang! Kamu pasti bisa. Enggak usah dipikirkan beratnya. Anggap aja kamu sedang jalan-jalan dengan aku di hari Minggu. Pasti kamu enggak akan merasa capek. 'Kan, ada aku," hiburku sambil merangkul pemeran Urmila, adik Sinta.

"Iya, ya. Mungkin itu cuma perasaanku saja. Belum mulai, aku sudah merasa lelah. Betul juga katamu. Terima kasih banyak, Bella. Kamu sudah memberiku semangat. Btw, apa kamu enggak kelelahan? Banyak kegiatan di luar rumah, selain sekolah. Setiap hari, ada ekskul, terus dinner bareng Enrico. Sampai rumah pasti sudah malam. Belum lagi Sabtu dan Minggu. Ada les ini itu, kegiatan modeling ...."

".... Lalu, jalan bareng titik-titik, titik-titik. Ehem ehem," sambung Gabriella dengan berbisik dan mengedipkan matanya.

Dia membuatku tertawa kecil.

Lanjutnya dengan tersenyum, "Aku aja yang cuma ikut ekskul drama dan padus, merasa lelah. Apalagi kamu. Enggak kebayang, deh. Kalau aku jadi kamu, pasti aku sudah pingsan setiap hari."

Aku bernapas lega. "Syukurnya, La. Aku enggak apa-apa. Daripada di rumah, ...."

"... mumet," desahku menyambung perkataan sebelumnya.

Tak terasa kami sudah sampai di bangku dekat parkiran motor. Sambil duduk, percakapan kami lanjutkan dengan membicarakan Enrico yang tidak bisa menungguiku karena kerja kelompok di rumah Josh. Sekitar beberapa menit kemudian, kulihat Roy datang dan menghampiri motornya yang diparkir tidak jauh dari tempat duduk kami. Kusangka dia mau langsung pulang, ternyata pemuda berpostur tinggi itu bergabung denganku dan Gabriella.

Roy duduk di sebelahku dan berucap, "Bel, kamu tadi lupa, ya, dialog Sinta waktu bicara dengan Rama di taman?" Dia tersenyum.

Aku mesem menutupi rasa malu, lalu menjawab. "Ya. Astaga, kenapa aku lupa terus di bagian itu, ya? Kebanyakan pikiran, nih."

Orang yang berperan sebagai Rama itu mengerutkan keningnya seraya bertanya, "Pikirin apa sih, Bel?" Wajahnya berubah jadi serius.

Aku gelagapan. "Ah, ng enggak. Aku ngomong doang, kok. Enggak perlu ditanggapi serius."

Senyuman kembali terlukis di paras tampannya. "Mau aku bantu? Kita latihan dialog seperti dulu, sebelum pementasan 'Romeo and Juliet'."

"Hmm, enggak apa-apa, nih?" tanyaku ragu.

"Aku sih, enggak apa-apa. Kalau kamu? Kapan kamu bisa?" sahut Roy.

"Okay. Saat istirahat pertama, ya?" usulku lalu mengangguk sambil menampakkan lengkung sukacita di bibir.

Revenge of The Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang