Bab 35

16 6 5
                                    

"Kak Bella, besok bisa, 'kan, datang ke pesta sweet seventeen-ku?" tanya Mei Mei manja sambil mengenggam lenganku dan menggoyang-goyangkannya.

"Hmm, gimana, ya?" gumamku ragu. Kurasakan pahatan di antara kedua alis terbentuk dan senyum yang dipaksakan tergelincir dari bibir.

Wajah oriental gadis itu terlihat berbeda dari sebelumnya. Cerah berubah dengan cepat menjadi mendung, seperti cuaca saat ini. Awan hitam berarak-arak meliputi cakrawala yang tadi terang benderang. Sinar matanya meredup. Bibir tipis yang merekah dengan senyuman, kini mengerut. Nada kecewa dari mulutnya pun menembus liang telingaku.

"Yah, Kak. Ayolah. Umur 17 tahun, 'kan, cuma sekali seumur hidup. Enggak akan terulang lagi. Kakak adalah idolaku di sekolah dan di dunia entertainment. Kak Bella sibuk? Kumohon datang, ya. Sebentar aja enggak apa-apa, kok. Yang penting bisa foto bareng Kakak di depan kue ulang tahun. 'Kan, aku mau posting di Facebook." Bibirnya terlihat maju dua sentimeter. Matanya tampak mengharap penuh damba.

Setelah memandangi paras adik kelasku itu, aku menarik napas, lalu bertutur, "Baiklah. Tapi, aku agak telat, ya. Sebab jadwalku sangat padat. Dari pagi sampai sore, shooting sinetron. Terus aku juga enggak bisa lama-lama. Mau istirahat untuk persiapan peragaan busana besoknya."

Sekonyong-konyong ekspresi juniorku di ekstrakurikuler pemandu sorak itu menunjukkan rona sukacita. Dia melonjak-lonjak kegirangan, kemudian memelukku seraya mengucapkan terima kasih. Membuatku membalas pelukannya dengan penuh kehangatan. Membuatku tersenyum, turut merasakan kegembiraannya. Membuatku menepis rasa lelah yang bergelayutan demi mewujudkan permintaan gadis cantik yang sekarang sedang memakai gaun biru bak Cinderela pada pesta ulang tahunnya.

Di rumah yang megah bagai istana negeri dongeng, putri seorang taipan itu mengajakku foto bersama di depan kue ulang tahun tingkat delapan, lebih megah dari kue pernikahan pasangan selebriti yang kudatangi Sabtu pekan lalu. Sesudah beberapa saat berbasa basi, aku undur diri dengan alasan seperti yang kuutarakan kemarin. Namun, rengekannya agar aku mau mencicipi kue mewah itu sebelum meninggalkan pesta, sekali lagi membuatku tidak tega. Setelah suapan pertama kutelan, rasa coklat yang berkolaborasi dengan hazelnut menggoyang lidah untuk dinikmati kembali. Sambil berbincang-bincang dengan gadis yang ceria itu, aku pun menyendokkan potongan kue yang kupastikan berharga selangit ke dalam mulutku yang ketagihan sensasi rasa yang tak lazim.

Namun, keseruan percakapan kami dengan terpaksa terputus karena Ruben yang diisukan suka dengannya mengajak gadis itu berdisko. Tinggallah aku sendiri di ruang yang ingar-bingar itu.

Ah, sepertinya sudah lama sekali aku enggak merasa kesepian seperti ini. Mei Mei enggak undang Gabriella dan Lucy. Orang yang kukenal hanya teman-teman kelasnya -XI IPS1-, anak cheerleader, dan anak basket. Mereka sepertinya juga sedang bersenang-senang dengan sohib dan pacarnya masing-masing. Selebihnya, aku enggak kenal. Kubahasakan kalimat-kalimat itu dalam kesendirian seraya termangu memandang keasyikan mereka beraksi di tengah ruangan yang disulap seperti diskotek.

Namun, sikap diam itu tidak berlangsung lama. Gendang telingaku terusik oleh suara bicara orang-orang seolah-olah mereka dipisahkan sungai yang lebar dan suara tawa seakan-akan mereka adalah kumpulan raksasa di negeri antah berantah. Lagu disko pun seperti hantaman godam bertubi-tubi mendera dada kala ritme merambati udara sampai ke indra pendengar. Hal itu mengaktifkan sensor di otakku untuk menyingkir dari area yang dapat menciptakan gemuruh jantung melebihi gelombang pasang lautan terhempas batu karang.

Bak robot, otomatis kakiku bergerak patuh menuju taman belakang rumah yang ternyata lengkap dengan kolam renang dan air terjun buatan. Setelah celingak-celinguk menjelajahi tempat luas yang hanya dihuni beberapa pasang muda-mudi itu, pilihanku jatuh pada seperangkat kursi dengan meja berpayung dekat pintu gerbang keluar. Bukan tanpa tujuan aku menempatkan diri di sana. Maksud hati ingin langsung melarikan diri sesudah suapan terakhir kue meluncur mulus di kerongkongan.

Akan tetapi, dahaga menghampiri sehingga mengingatkanku pada segelas Tropical Fruit Punch menggiurkan yang tertinggal di atas meja sebelah tempat aku berdiri tadi. Dengan terburu-buru, aku kembali memasuki tempat remang-remang itu seraya melacak lokasi yang tidak jauh dari kue ulang tahun agung bernuansa putih dan biru muda.

Nah, itu masih di sana, ujarku dalam hati ketika melihat segelas penuh minuman menggugah selera yang memanggil-manggil untuk dinikmati. Tak lama kemudian, aku sudah berada di tempat duduk tadi sambil memandang kilau percikan air terjun buatan yang jatuh ke kolam renang dengan hiasan balon warna-warni. Aku bersandar pada kursi. Kumanjakan diri meneguk paduan jus jeruk, jus lemon, air kelapa muda, sirup cocopandan dengan nata de coco, potongan jeruk dan nanas yang dingin menyegarkan di malam yang terasa panas tak berangin. Sontak mataku terasa berat.

Aduh, bagaimana mau pulang kalau begini? Seandainya Jay tak ada tugas tambahan di tempat pendidikannya, aku pasti tak perlu menyetir mobil sendiri. Tinggal duduk manis dan dia yang mengantarku ke lokasi shooting, ke sini, lalu ke rumah. Perkataan yang kuutarakan untuk diri sendiri itu langsung kuralat. Oh, iya. Mana mungkin! Apa jadinya kalau dia ke sini? Teman-teman di sekolah akan tahu kalau aku bukan cuma 'pacaran' dengan Roy. Sejenak aku menyesali pengaturan strategi yang tidak tepat saat ini.

Seumpama Roy bisa mengantarku ke lokasi shooting, pasti aku tak akan sengsara seperti ini. Tetapi, mana bisa! Kalau kehadirannya di sana terendus kru dan wartawan, wah gawat! Hal itu bisa sampai ke telinga Jay. Selain itu, santapan sedap bagi para pencari berita akan cepat tersebar dan Kak Jeffrey-sepupu Kak Casey yang ada di Indonesia dan juga alumni SMA Harapan Pertiwi-pasti akan memberi tahunya. Kemudian, dengan kecanggihan internet dan teknologi informasi, kabar itu bisa saja sampai ke ujung dunia, dalam hal ini Amrik. Jadi, Robert juga akan mengetahui bahwa dia sudah menjadi orang ke sekian dalam kisah cintaku. Sekonyong-konyong penuturan tadi kusanggah. Akan tetapi, sebenarnya Roy dapat menunggu di tempat biasa Jay menungguku. Ah, jangan! Itu akan berdampak di kemudian hari. Bisa saja, Roy bersikeras untuk menungguku shooting Sabtu depan dan seterusnya. Kalau itu terjadi, bagaimana dengan Jay? Aduh, apa lagi alasanku untuk menolak keinginan Roy demi mempertahankan jatah malam Minggu Jay pekan depan dan yang akan datang? Helaan napas berat kuembuskan kala kalimat yang tidak terucapkan itu muncul di otak.

Satu-satunya orang yang fleksibel sebenarnya adalah Kak Raul. Dia bisa dengan leluasa mengantar dan menjemput, bahkan pernah menungguiku di lokasi shooting. Dia juga bisa diajak ke mana-mana, termasuk ke sini, dan akan kuperkenalkan sebagai manajer. Uh, andaikata dia tak sibuk mengurusi klien, pasti sekarang aku sudah tidur di mobilnya dan terbangun di depan rumah. Gerutuku menambah rasa tidak puas terhadap apa yang dihadapi.

Ungkapan-ungkapan pengandaian yang sedari tadi menguasai diri tidak memberikan solusi malah mengakibatkan kepala tertumpuk beban yang kian berat. Lemah lunglai membalut erat bak orang kekurangan darah. Lambat laun energiku semakin bergerak ke titik nol. Gelap.

Revenge of The Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang