Bab 19

17 8 8
                                    

Perkenalanku dengan Filippo ternyata meninggalkan kesan yang mendalam. Bahkan tatkala aku sedang menghabiskan malam Minggu bersama Enrico, raut wajah ekspatriat itu tak kunjung berhenti menggodaku. Untaian peristiwa kebersamaan kami telah berkolaborasi dengan angan untuk berhubungan lebih lanjut dengannya. Gila! Memang gila! Namun, itulah yang terjadi di dalam alam sadarku.

Kini, percaya tak percaya, kudapati dirinya sedang memandang dari kejauhan ketika aku sedang mengikuti sesi pemotretan kosmetik remaja, sehari sesudah pertemuan kami. Kala pekerjaanku telah selesai, aku lekas-lekas menemuinya yang sedang berdiri di bawah pohon rindang.

"Ciao, Filippo. Come stai?" Aku tersenyum manis dan menatap lekat-lekat saat menanyakan kabarnya.

Dia sangat memesona. Cahaya matanya seakan-akan memancar lebih terang daripada sang surya di angkasa. Senyumnya seolah-olah lebih indah daripada bunga-bunga di taman. Selain itu, ada satu hal lagi yang membuatku semakin terpukau. Penampilannya tampak berbeda. Dia tidak mengenakan celana panjang, kemeja lengan pendek, dan dasi seperti kemarin, tetapi jeans dan kaos biru yang melekat di tubuh. Dengan demikian, menonjollah lekuk otot pada badan dan lengannya, sehingga memberikan nilai plus pada pemuda macho asal negara pizza itu.

Tutur sapanya terdengar seolah-olah membangunkanku dari kekaguman atas dirinya. "Ciao, Bella. Bene, grazie. E tu?" (Halo, Bella. Baik, terima kasih. Dan kamu?) Tangannya kembali menari-nari mengikuti kalimat yang diucapkannya.

"Bene, grazie," jawabku gembira.

Karena ketakjuban atas makhluk yang ada di depanku masih menguasai, terucaplah suatu pengakuan di dalam hati. Benar-benar italiano sejati. Keren. Sangat memukau.

Tangannya kembali digerak-gerakkan kala berkata, "Saya tidak menyangka kita bertemu di sini. Kemarin malam dan tadi pagi saya mengirimkan WhatsApp. Tapi, hanya dua centang abu-abu. Saya tidak tahu, kamu sudah baca atau belum."

"Oh, e' vero? (Oh, benarkah?) Scusa, Filippo. (Maaf, Filippo.) Saya belum membacanya. Karena semalam saya kecapean, sampai rumah, saya langsung tidur. Dan saya bangun pukul setengah empat untuk bekerja di toko roti dan kue milik keluargaku. Jadwalku sangat padat." Aku menunjukkan wajah penuh penyesalan terhadap pesan yang dikirim pemuda itu.

"Oh, non importa. (Oh, tidak masalah.) Yang terpenting adalah kita ternyata bertemu di sini. Sono molto felice." (Saya sangat senang.)

"Btw, bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanyaku penasaran.

"Tadi saya fitness di tempat itu." Badan dan kepala Filippo sedikit diputar ke belakang dan tangannya menunjuk pusat kebugaran yang terdapat pada seberang jalan.

Setelah posisi Filippo kembali seperti semula, dia bertutur, " Saat saya mau pulang, saya melihat keramaian. Dan seperti yang kamu lihat, adesso sono qui." (Sekarang saya di sini.)

Mulutku hanya berkeluk membentuk senyuman.

"Kamu tidak beritahu saya bahwa kamu adalah model. Perche'?" (Mengapa?) Tangannya mengarah kepadaku.

"Filippo, kita belum bicara banyak kemarin. Non e' vero?" (Bukankah begitu?)

Lagi-lagi tangannya bergerak saat dia bercakap, "Si. (Ya.) Saya ingin tahu banyak tentang kamu. Saya menyangka kita akan bertemu lagi Sabtu depan. E' troppo lungo per me. (Itu terlalu lama bagiku.) E tu?" (Bagaimana denganmu?)

Aku terkejut mendengar penuturannya yang terdengar seolah-olah dia sangat merindukanku. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaannya. Kegalauan itu terselamatkan oleh kedatangan Kak Raul yang sekonyong-konyong sudah berada di antara kami.

Revenge of The Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang