Fish

15 2 0
                                    

"Bang, lu abis tawuran?"

Seluruh atensi rumah itu berpusat pada sosok remaja yang baru sampai. Mata sipitnya menatap anggota keluarganya dengan datar. Tak bisakah mereka mengkhawatirkan lukanya terlebih dahulu sebelum menerka penyebabnya?

"Kag--"

"Abang tawuran?" potong ibu Ace dengan tatapan menghakiminya. Lisa yang biasanya barbar pun memilih mundur. Meninggalkan Ace yang sibuk menelan ludahnya kasar.

"N-nggak, Mak. Tadi Abang dipukul kakel," jawabnya hati-hati. "Tapi, Abang nggak bales kok." Setengah benar, karena dia membalas pun tak kena.

Ibunya menghela napas, membuat napas Ace semakin tercekat. Tangannya tiba-tiba menjulur, membuat sang putra menutup mata karena takut. "Kenapa nggak diobati dulu?"

"Eh?" Ace terkejut saat merasakan usapan lembut di pipinya. Tatapan sang ibu berubah lembut, seperti tatapan biasanya. "Ehm, UKS-nya udah ditutup. Jadi, Abang pulang aja, hehe," cengirnya.

Sang ibu pun menariknya ke ruang tamu dan menyuruh Lisa mengambil kotak perobatan. Dengan setengah hati, gadis yang masih duduk di bangku SMP itu turut membantu mengobati luka Ace. Kadang sedikit jahil, Lisa dengan sengaja menekan luka abangnya.

"Oh, gue tahu, nih! Abang pasti berantem buat ngerebutin cewek kemarin, kan? Kayak di drakor. Pasti kakelnya suka sama pacar Abang terus berantem deh," terka Lisa seraya merapikan kembali peralatan kesehatan.

Andai saja kejadiannya benar begitu. Dipukuli sampai nyaris mati pun sepertinya Ace masih terima. Namun, masalahnya begitu pelik hingga tak terasa keromantisannya.

"Abang, Mak mau ngomong serius," kata sang ibu, "Abang yakin dengan cewek kemarin? Abang nggak bakal menyesal lagi kayak dulu?"

Sekelebat masa lalu yang menyesakkan tiba-tiba menyerang. Ace ingin sekali menghapus ingatan kelam itu daripada harus mengingatnya seperti sekarang. Namun, apa daya. Sesuatu yang ingin dilupakan justru akan selalu diingat.

Tidak, Ace tak terpuruk dengan waktu lagi. Dia ingin hidup seperti orang biasanya. Bahagia dengan masa sekarang, bukan masa lalu.

"Iya, Abang yakin," jawabnya dengan senyuman, "Lagipula, Nafa bukan dia. Dan dia tak akan kembali. Bukan, meskipun kembali, Abang nggak akan membiarkannya kembali merusak hidup Abang. Kelakuannya dulu sudah cukup untuk memberi Abang sebuah pelajaran hidup."

Ibu Ace ikut tersenyum. Tak percaya anaknya tumbuh begitu cepat. Putra yang kemarin masih merengek karena mainannya yang direbut, putra yang terbaring bisu di rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Mungkin, keberadaan dia membuatnya lebih dewasa. Entah Alice --ibu Ace-- harus mensyukurinya atau tidak.

Yang pasti, kali ini, Alice merasa pilihan anaknya benar.

"Gue sih juga lebih milih Mbak Nafa. Kalau dia mah kalah jauh! Cakep kagak, ngeselin, iya!" celetuk Lisa dengan wajah juteknya.

"Nah, kan! Nafa seratus-- nggak, seribu kali lipat lebih baik!"

"Kalau tahu, kenapa kemarin dibikin nangis?"

Ace langsung mendelik. "Ya-yah, kemarin kan anu. Ish! Kan udah kelar kenapa dibahas lagi, sih?" timpal Ace. Teringat hukuman yang diberikan kedua perempuan berbeda umur itu.

Lisa menyengir lalu menginjak kaki kakaknya. Iseng.

"Lisa!"

Ace meringis sejenak. Injakan adiknya memang tak main-main. Kenapa dia yang kena lagi? Apakah ini takdir jika cowok memang selalu salah?

Alice yang melihat interaksi keduanya lantas tertawa kecil. Dia lantas menepuk pundak putranya. "Abang jangan bikin cewek nangis lagi, ya? Apalagi pacar Abang kemarin. Siapa namanya? Nafa?"

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang