A (ku dan kamu)

54 8 1
                                    

Pagi ini, pagi pertama aku di rumah sendiri. Tanpa bapak dan ibu membuatku merasa lebih mandiri walau belum genap satu hari.

Bagaimana tidak? Tadi malam aku masak makan malam sendiri, ya walau hanya mie instan yang aku tambahkan beberapa bumbu dapur tambahan. Tadi selepas sholat subuh, aku membereskan rumah dan tidak lupa menyiram tanaman kesayangan ibu.

Rumah yang sunyi memberi peluang untukku memutar musik dengan volume full. Di hape saja kok, tidak sampai mengganggu tetangga. Setelah itu, aku segera mandi dan kemudian masak untuk sarapan.

Sambil mengupas dan memotong bawang, juga cabai, aku menyetel video di Youtube seputar berita tentang per-bulu tangkisan Indonesia.

Ada seseorang yang kutunggu kehadirannya, meski itu sepertinya sangat mustahil.

Fajar, dia teman masa kecilku dulu. Sampai sekarang pun seharusnya aku dan dia masih berteman. Namun sayangnya, kami berdua berpisah sejak perginya dirinya untuk meraih cita-cita. Di antara kami tidak ada pertukaran kabar sama sekali setelah itu.

Aku masih bisa mengetahui sedikit keadaannya lewat akun media sosialnya. Tapi dia? Apa dia juga melakukan hal yang sama? Mencari jejakku di dunia maya hanya demi mengetahui kabarku? Itu tidak mungkin kan?.

Fajar sudah menjadi pebulu tangkis sukses sekarang, cita-cita nya yang dulu selalu dia ceritakan kini sudah berhasil dia raih. Dia sudah berhasil menjadi salah satu orang kebanggaan negara. tidak ada alasan untuk mencegahnya lupa dengan masa lalunya.

"Aku latihan dulu ya, ntar sambung main lagi!"

"Kalo capek latihan, terus kapan aku bisa jadi atlet nasionalnya?"

"Aku pengen jadi atlet terkenal, Ra. Biar bisa banggain mama, papa, sama kamu."

"Nanti kalo udah terkenal, kamu bisa liat aku di tv, Ra. Diwawancarai sehabis tanding kayak Taufik Hidayat itu loh, pasti keren."

Fajar masih ingat aku tidak ya?.

Dulu, beberapa tahun yang lalu. Umurku dan dia masih belasan. Jika tidak salah ingat, umur Fajar 15 tahun, sedangkan umurku baru 12 tahun. Seperti biasa, sepulang latihan dia akan menghampiriku yang setia menunggunya, di pinggir sawah.

"Ra, aku berhasil dipanggil ke pelatnas lho. Seneng gak?" tanya Fajar yang ketika itu sudah remaja, dengan senyum merekah. Terlihat sekali kebahagiaan terpancar di wajahnya.

Tsani ikut tersenyum, namun beberapa detik kemudian senyuman itu luntur. Berubah menjadi wajah sedih.

"Kenapa sedih? Kamu gak seneng ya kalo aku ke pelatnas?" tanya Fajar kecewa.

"Senang, tapi habis kamu jalan, aku main sama siapa lagi?" ujar Tsani.

"Cari teman lain. Dinda, Cantika, Nilam, masih banyak, kok," jawab Fajar menenangkan.

"Gak bisa Jar, aku susah mau kenalan."

"Gak papa, dicoba dulu, pasti kamu bisa!"

Tsani tidak bisa membendung tangisannya. Dia sungguh bimbang dengan rasa yang ada pada dirinya. Rasa senang tentu ada, namun rasa sedih lebih mendominasi.

"Jangan nangis. Nanti kalo aku pulang, aku bawain kamu coklat sama hadiah. Gimana? Jangan nangis lagi plis." Fajar mengelus-elus punggung Tsani.

"Pasti kamu lama pulangnya," ujar Tsani sesenggukan.

"Enggak, janji!" Fajar menyodorkan jari kelingkingnya pada Tsani. Tsani membalasnya dengan senyuman dan menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking milik Fajar.

DERANA || Fajar Alfian [BERHENTI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang