"Alhamdulillah enggak telat kamu jemputnya, Tsa. Kalo telat gak tau bosannya kayak apa Ibu di bandara tadi."
Aku, ibu, bapak, dan Fajar sedang berada dalam satu mobil yang sama saat ini. Aku baru saja menjemput beliau berdua bersama Fajar tadi pagi, sekarang kami sedang pada perjalanan pulang.
"Makasih nya jangan sama aku, 'kan Fajar yang bawa mobil, Bu," ucapku menjawab perkataan ibu.
"Makasih ya, Jar. Bisa diandalkan tidak seperti Tsani," kata ibu lagi, kali ini pada Fajar. Akhirnya, aku juga yang kena 'kan?
Fajar tertawa kecil, "Iya Bu, sama-sama."
"Tsani itu kalo disuruh ya bener bilangnya 'iya' tapi bergeraknya gak tau kapan. Ini kalo gak ada kamu aja ya paling Ibu sama Bapak dijemput habis dzuhur," ucap ibu lagi
"Enggak ya, ya kali aku biarin Bapak sama Ibu di bandara berdua aja selama itu," kataku menolak mentah-mentah sangkaan ibu.
---
Bapak menghembuskan napas panjang mendengar kata-kataku barusan. Aku baru saja meminta izin untuk ikut Fajar ke Jakarta. Aku sudah memikirkan keputusan ini matang-matang, sejak Fajar menawarkan pekerjaan sebagai tenaga medis di Pelatnas beberapa hari lalu. Semua hal sudah diurus, dan Alhamdulillah, aku diterima bekerja di sana.
“Bapak memang nyuruh kamu nyari kerja, Nduk. Tapi di sekitar sini saja, jangan jauh-jauh,” ujar bapak. Kalimatnya seperti agak bimbang.
“Pak, aku sudah diterima. Maaf kalo gak ijin Bapak dulu, tapi kalo rejekiku di sana, InsyaaAllah dilancarkan kerjanya, Pak,” jawabku berusaha meyakinkan Bapak.
“Bukan begitu, Tsa. Jakarta itu kota besar, gak ada yang tau kehidupan di sana seperti apa untuk kamu yang pendatang. Kamu perempuan, Nduk. Sendirian di Jakarta itu terlalu bahaya,” kata Bapak lagi. Mata beliau menatapku dalam.
Aku menghela napas gusar. Aku tahu, bapak khawatir pada anak perempuan satu-satunya ini. Bapak merasa bimbang karena bapak sayang padaku. Tapi aku tidak mau terus-terusan menjadi beban keluarga, sudah waktunya untukku membahagiakan orangtuaku. Jika aku tidak bekerja, bagaimana bisa aku membahagiakan beliau berdua?
“Pak, aku ini sudah dewasa. InsyaaAllah bisa menjaga diri. Aku pengen bawa Bapak sama Ibu ke Mekkah, Umroh, dengan uangku sendiri.”
“Bekerja di sini juga bisa dapat uang. Gak perlu jauh-jauh.” Nampaknya bapak masih tetap pada keputusan hatinya.
Ibu mendekati bapak, mengelus pundaknya lembut. “Pak, Tsani gak sendiri. Ada Fajar di sana sama dia,” ujar ibu.
Fajar tersenyum dan mengangguk. Bapak menoleh pada laki-laki di sampingnya itu.
“Iya, InsyaaAllah saya jagain, Pak. Tsani aman sama saya,” ujar Fajar, membuat bapak kembali berpikir.
Beliau menatapku cukup lama. Bapak mengangguk pelan.
“Bapak perbolehkan, Nduk. Bapak minta janjimu untuk kamu selalu sehat di sana nanti.”
Senyum sumringah terpampang nyata dari bibirku. Aku mengangguk bahagia lalu menghampiri Bapak dan segera memeluknya.
“Aku janji, Pak. Bakal selalu jaga diri. Terima kasih, Pak! Makasih! Aku sayang Bapak!!” ujarku kegirangan sembari mengecup kedua pipi laki-laki tercintaku berulang kali.
Fajar dan ibu terlihat juga ikut tersenyum.
“Fajar, Bapak percayakan putri Bapak sama kamu, ya,” kata bapak pada Fajar.
Fajar mengangguk mantap. “Iya, Pak. Saya janji,” jawab Fajar bersemangat.
---
“Jar, aku balik aja, deh.” Tsani berhenti berjalan dan memutar balik badannya menuju arah berlawanan dari pesawat. Padahal beberapa langkah lagi mereka sampai di tangga transportasi udara itu.
Tiba-tiba saja ia merasa bimbang dengan keputusannya. Ia terus saja memikirkan kedua orangtuanya di rumah. Rasanya tidak enak saja jika dibayang-bayangi perasaan khawatir seperti sekarang ini.
Fajar berlari mengejar Tsani yang belum jauh. Laki-laki itu menarik tangan temannya lalu membawanya mendekat.
“Kenapa?” tanya Fajar. Ia tahu, Tsani tengah dalam perasaan gundah saat ini.
“Ibu bapak siapa yang jagain, Jar?” tanya Tsani dengan suara sedikit serak dan bergetar.
“Ra, ibu sama bapak sudah izinin kamu ke Jakarta setelah beberapa waktu kamu butuhkan untuk meyakinkan. Jangan sia-siakan, Ra. Mereka dukung kamu selalu,” ujar Fajar sambil memegang bahu Tsani lalu Ia mengusap lembut kepala perempuan itu.
Tsani memandang mata Fajar. Ada ketulusan di sana yang membuat Tsani kembali memiliki ketenangan.
“Ibu bapak pasti sehat terus, Ra. Tiap liburan aku temenin kamu ke rumah. Ngunjungin bapak ibu,” katanya lagi, kini dengan senyuman khas miliknya.
Tsani mengangguk pelan. Ia kembali melangkah menuju pesawat, mengikuti Fajar dari belakang.
“Bu, Pak. Doakan aku, ya!” seru Tsani dalam hati. Senyumnya terbit meski hanya tipis-tipis.
***
Haii
Ini cerita tadinya mau aku hapus aja, soalnya sudah lama banget di draft. Kalo kalian mau tau, cerita ini udah ditulis sejak November atau Desember tahun lalu, hahaha.Tapi akhirnya aku putuskan untuk up aja, entah ada pembaca atau tidak... itung-itung cerita pertama, lah, hehe.
Terima kasih sudah membaca, ya...
love<33
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA || Fajar Alfian [BERHENTI]
FanfictionTsani itu seorang yang setia. Bagaimana tidak? Walau sekian tahun berpisah dengan sahabat kecilnya, Tsani tidak pernah sedikitpun lupa padanya. Terputusnya komunikasi tidak membuat pikirannya dengan mudah menggantikan Fajar, seorang atlet bulu tang...