Aku mengaduk teh yang baru saja kuberi gula. Tanganku benar-benar gemetar sekarang. Aku akan menyajikan teh ini untuknya?
---
"Assalamualaikum, Ara."
Salam seseorang yang tak pernah Tsani duga akan terdengar lagi di telinganya. Lelaki itu tersenyum ketika melihat Tsani.
Merasa tidak benar jika tidak menjawab salam, Tsani segera menyadarkan lamunannya. "Waalaikumussalam," jawab Tsani.
Keduanya terlihat sangat kaku sekarang. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara, bahkan sekadar menanyakan kabar. Semua kembali terasa asing.
"Apa kabar?" tanya Fajar takut-takut.
"Alhamdulillah baik."
"Emm, duduk dulu, aku buatkan minum." Tsani mempersilakan Fajar untuk duduk di kursi luar. Di rumah sedang tidak ada orang, jadi jika dipikir-pikir tidak baik hanya berdua saja di dalam rumah. Bisa jadi fitnah.
Fajar tersenyum dan mengangguk. Dia segera duduk di kursi seperti yang Tsani perintahkan, Tsani segera menuju dapur untuk membuatkan minum pada teman kecilnya itu.
---
"Ini teh nya." Aku menurunkan secangkir teh dari nampan dan menaruhnya di meja, di hadapan Fajar. Ada beberapa buah yang kusajikan juga.
Tidak bisa kupungkiri, aku benar-benar gugup dengan pertemuan tiba-tiba seperti sekarang ini. Kugeser tempat duduk dan mengambil tempat di kursi kedua, tepat di sebelah Fajar. Tanganku bermain memilin ujung jilbab.
Aku tidak tahu harus memulai seperti apa untuk membangun percakapan. Di sini posisinya sama-sama canggung, kami sama-sama diam membisu.
"Ra, sudah lulus kuliah ya?" Kalimat Fajar berhasil membuatku kaget. Untung saja kagetnya tidak keterlaluan.
Aku segera mengangkat kepalaku dan menjawab pertanyaan yang dia berikan. Tapi tunggu, aku panggil dia pakai embel-embel 'kak' tidak ya? Ahh sudahlah, kita coba saja.
"Alhamdulillah, sudah A'." Tidak, ini tidak benar. Sepertinya aku salah bicara. Terlihat jelas sekali dari raut wajah kebingungan milik Fajar sekarang. Bingung campur kaget, begitulah ekspresinya sekarang.
Dia tersenyum. Senyumannya masih sama seperti dulu. Nampak begitu tulus.
Fajar menyeruput teh yang masih menguapkan asap dengan perlahan.
"Teh nya enak, Ra. Aku suka."
Ya Allah, aku bingung ingin ber-ekspresi seperti apa. Ini terlalu rumit. Ku lebarkan senyuman dan mengatakan terima kasih untuk pujiannya.
"Makasih."
Tidak ada percakapan lagi. Benar-benar diam di antara kecanggungan, itulah kami saat ini.
"Sudah habis. Terima kasih teh nya," ucap Fajar sembari menaruh cangkirnya di atas lepek.
Aku mengangguk. "Aku ke dalam dulu ya, A'. Naruh gelasnya."
Tak kupedulikan apa tanggapannya, segera saja aku berjalan cepat ke dalam rumah dengan membawa cangkir dan lepek itu. Setidaknya aku bisa menenangkan jantung sejenak agar tidak berdetak terlalu cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA || Fajar Alfian [BERHENTI]
FanfictionTsani itu seorang yang setia. Bagaimana tidak? Walau sekian tahun berpisah dengan sahabat kecilnya, Tsani tidak pernah sedikitpun lupa padanya. Terputusnya komunikasi tidak membuat pikirannya dengan mudah menggantikan Fajar, seorang atlet bulu tang...