A (jarkan berhenti berharap)

49 6 1
                                    

Suara decitan sepatu terdengar memenuhi ruangan. Pagi ini Tsani menemani Fajar latihan di tempat orang-orang desa berlatih semua jenis olahraga. Gedung olahraga sih kalau aku menyebutnya.

Sejak setelah subuh tadi, mereka sudah berlari-lari kecil, melakukan pemanasan seperti yang biasanya Fajar lakukan di Pelatnas. Dan berhenti di gedung ini.

(gedung olahraga sama saja kayak gedung serbaguna, bukan gedung yang tinggi gitu, cuma kayak bangunan luas gitu deh... untuk kalian yang belum tau aja kok)

“Ini kamu bisa, Ra,” kata Fajar sambil terus menangkis shuttlecock yang terus datang.

“Kan sama kamu, beda cerita kalo sama orang.”

Mereka terus melanjutkan permainan. Sampai lelah, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak.

“Jadi kamu mau gak ke Pelatnas? Kalo mau, urus sekarang,” kata Fajar sambil meneguk air mineral miliknya.

“Kayak apa ngurusnya?”

“Nanti kukasih nomornya. Sudah selesai Ra latihannya, ayo ke warung makan.”

Mereka berdua beranjak pergi meninggalkan ruangan yang masih berisik dengan suara sepatu dan shuttlecock yang ditangkis berulang kali.

***

Aku dan Fajar telah sampai di sebuah warung makan, sudah cukup menjadi langgananku sejak beberapa tahun lalu. Nama warung makannya, Warung Makan Mbok Iyem. Aku suka sekali sama nasi pecelnya.

“Jar, kamu harus pesen pecel yang pedess, enak banget itu.” saranku pada Fajar yang masih terlihat bingung memperhatikan menu-menu yang tertera di dinding.

“Kamu suka?” tanyanya.

“Suka banget! Apalagi kalo minumnya es teh atau es jeruk. Wuuhh gak ada lawan,” ujarku.

“Oke, aku pesan dulu ya. Kamu es teh?”

“Iya, thank you, yaa.”

Tidak lama setelah Fajar kembali, pesanan datang ke meja kami.

Kami segera melahap makanan yang sudah ada di depan mata. Aku kira Fajar akan memesan es jeruk, karena dia sangat menyukai minuman itu. Tapi ternyata tidak, dia menyamakan pesanannya dengan punyaku.

“Tumben kamu gak pesan es jeruk. Kenapa?” tanyaku padanya, dia terlihat mulai melahap beberapa lontong yang sudah terbalut bumbu kacang.

“Enggak, samain kamu aja,” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku masih penasaran.

“Ya karena aku pengen sama kayak kamu, Araaa,” ucapnya gemas. Fajar kembali mengusap kepalaku pelan.

Perasaan dulu tidak pernah mengusap-usap kepala begini deh, tapi sekarang? Baru juga kemarin bertemu, tapi sudah tidak terhitung berapa kali dia mengusap kepalaku.

“Oh, gitu yaa?”

Laki-laki itu mengangguk berkali-kali dengan senyumnya yang tidak pudar.

“Kamu ada deket sama cewe? Aku liat di sosmed gitu.” Ya, satu hal ini yang ingin selalu aku tanyakan padanya.

“Gak usah terlalu percaya, Ra. Aku lagi ngobrol sama cewe aja lho langsung diberitakan sedang dekat. Banyak paparazi di mana-mana.”

“Berarti kita lagi makan gini bisa aja masuk berita?”

“Bisa. Kamu liat pelanggan itu?” Fajar menunjuk seorang pelanggan yang tempat duduknya tidak jauh dari tempat kami.

“Itu yang lagi bakar sate.” Fajar menunjuk orang yang sedang berada di tengah-tengah asap sate.

DERANA || Fajar Alfian [BERHENTI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang