fiveteen

118 27 61
                                    

Sejak saat dimana dirinya diculik bersama Hyunjin dan di sekap di tempat ini Jeongin tidak pernah sekalipun melihat indahnya langit biru lagi. Bahkan untuk menebak pukul berapa sekarang saja ia tak mampu.

Di kurung di ruangan kecil berwarna putih yang bahkan luasnya tak lebih sebesar ruangan kelas membuat Jeongin semakin gila saja. Beruntung laki-laki begundal si tukang tinju itu membiarkannya satu ruangan dengan Hyunjin, paling tidak Jeongin tidak kesepian.

Setiap minggunya selalu ada evaluasi, entah untuk apa keduanya tidak tau. Yang jelas jika memberontak mereka akan di setrum di sebuah kursi listrik, persis seperti eksekusi mati.

Jeongin tidak pernah merasakannya, tapi Hyunjin dan tempramen buruknya membuat dirinya pernah merasakan rasanya hampir mati di kursi listrik itu. Kira-kira hal itu terjadi 6 bulanan lalu ketika mereka baru beberapa minggu tinggal di tempat ini.

Nyaris depresi, bahkan mungkin lebih dari itu.

Setiap hari keduanya akan di beri makan sebanyak 3 kali dalam sehari. Makanan bergizi dan kapsul obat-obatan entah namanya apa diharuskan untuk di habiskan setiap hari.

Kalau Hyunjin tidak mengamuk, mereka akan diberikan camilan atau coklat enak sebagai hadiah. Maka sebisa mungkin Hyunjin menahan egonya untuk menyaksikan kesayangannya dapat mengemil makanan favoritnya setiap hari.

Lalu, pada sore hari seseorang akan menyeret mereka untuk berolahraga ke tempat gym yang letaknya berada di bawah tanah. Begitu saja setiap hari.

Jeongin dan Hyunjin hanya diperbolehkan keluar dari ruangan hanya untuk berolahraga dan ketika evaluasi berlangsung sekali dalam seminggu.

Layaknya hari-hari biasa pada umumnya. Jeongin dan Hyunjin kini tengah termangu menatap atap putih sembari merebahkan diri setelah mandi tadi. Entah ini sore atau malam, yang jelas terserah keduanya mau rebahan saja atau tidak.

"Sampai kapan kita harus kayak gini?" Lirih Jeongin.

"Gue juga gatau. Coba tanyakan kepada rumput yang bergoyang."

"Emang gak guna gue nanya sama lo."

Jeongin bungkam. Hyunjin membawa tubuhnya menjadi miring dan memandang lelaki manis itu dalam diam.

"Lo... mau pulang?"

Jeongin menggeleng lalu berdecak kesal, "Rumah gue udah ancur, orang tua gue juga gak kalah amburadul. Mau pulang kemana coba?"

"Liang lahat?" Celetuk Hyunjin yang langsung mendapat penghargaan bergengsi berupa cubitan maut dari Jeongin.

Layaknya adegan di drama-drama, acara tumpang tindih di barengi cubitan maut itu membuat gelak tawa dari Jeongin terdengar indah mengalun di udara. Ditengah ringisan dan permohonan ampunnya Hyunjin merasa hatinya menghangat karena melihat rubah imutnya bisa tertawa lepas karena ulahnya.

Hyunjin tersenyum kecil dan berharap semua akan baik-baik saja. Tekad Hyunjin hanya untuk melindungi Jeongin, sahabat sekaligus cinta terpendamnya.

"Aduh! Ampun Jeong, sakit banget cubitan lo!"

"Buahahaha mampus!"

Setelah menit ke 10 cubitan itu terlepas dan Hyunjin bisa bernafas bebas. Dilihatnya Jeongin yang kini kembali merebahkan diri diselingi tawa kecil dan pipi merona lucu. Duh, kalau lucu terus bagaimna Hyunjin tidak jatuh cinta coba?

"Tapi serius Jeong, kalo gak ada rumah untuk lo pulang, inget masih ada gue. Gue rumah lo yang gak akan pernah ninggalin lo. Gue, Hyunjin, yang akan selalu ngelindungin lo."

Dan ketulusan itu hanya dibalas oleh semburan tawa Jeongin yang mengiranya hanya candaan belaka. Ah, ya, Hyunjin hanya bisa tersenyum kecut. Ia tau sejak awal bahwa Jeongin hanya menganggap dirinya sahabat, tidak lebih dan tidak kurang dari itu.

if the world was ending - changlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang