2

1.3K 146 2
                                    

Suara denting bel terdengar seraya Jimin keluar dari toko kudapan manis dekat pelabuhan. Sebuah harta karun yang Jimin dan Seokjin temukan sewaktu kecil dan menjadi tempat favorit setiap membeli kudapan manis. “Terima kasih atas bonusnya bibi! akan ku sampaikan pada Jinnie!”

“Permisi?”

“Eh ya??” baru saja dia keluar dari toko sudah ada orang yang mendekatinya. Tunggu, pakaian asing dan topi kerucut dari anyaman bambu? ini orang yang tadi?

“Saya terpisah dengan rekan saya dan kami berjanji jika ada sesuatu kembali ke pelabuhan. Bisakah anda memberitahu saya kemana arah pelabuhan itu?” orang itu berujar dengan kepala terus menunduk, Jimin tidak bisa melihat wajahnya tapi ia bisa memastikan dia adalah orang yang sama karena wewangian bunga asing yang menguar dari sosok itu. Dan lagi bahasanya formal sekali, sepertinya dia baru belajar bahasa mereka.

“Oh euhmm iya… kalau ingin ke pelabuhan silahkan lurus saja dari sini. Ikuti jalan besar dan sesampainya di ujung belok kiri di sana kau akan mulai melihat kapal-kapal besar berkumpul. Itu adalah pelabuhan.” Jimin menunjukan arah ke pelabuhan yang diperhatikan dengan seksama oleh orang itu. “Euhmm apa kau mengerti bahasa ku?? apa aku terlalu cepat saat berbicara??” sadar kalau Jimin sepertinya bicara terlalu cepat dan orang dihadapan nya mungkin saja kesulitan untuk mengikuti Jimin memastikan kembali.

Kepala itu menggeleng dan Jimin bisa melihat sebuah senyum dari balik topi itu. “Tidak, anda menjelaskan dengan jelas. Terima kasih.” Sebuah senyum yang menampilkan sederet gigi putih dan juga gusi pink, matanya juga ikut menyipit layaknya kucing.

Deg!!

ah dadanya kenapa? apa ini efek dia selalu tidur larut?? “I-iya sama-sama kalau begitu permisi. Aku harap kau bisa segera bertemu dengan teman mu.” Jimin tidak akan terjerat casanova pria walaupun dia tidak akan bohong tapi lelaki di hadapannya memiliki senyum paling manis yang dia pernah lihat.

Satu langkah berbalik, Jimin berjalan menjauh sambil memegang churros di dadanya erat-erat. ‘Park Jimin tenang, tenang huft. Yuk balik yuk balik kasihan Seokjin yuk.’

Beberapa langkah dia menjauh, Jimin merasakan seseorang mengikutinya di belakang. Melirik ke pantulan kaca di toko pinggir jalan, dia melihat orang tadi mengikuti dirinya.

Sekarang dada Jimin berdegup kencang dengan irama yang berbeda.

Bagaimana ini? apa dia jangan-jangan tahu kalau Jimin adalah butler pribadi putra mahkota?? Tunggu park Jimin tidak boleh langsung lompat ke kesimpulan, mari kita pikirkan hal lain, mungkin saja dia punya keperluan di arah yang sama. Setelah 3 block pasti dia juga akan berhenti iya kan?

------

Sudah 4 blok lebih Jimin berjalan dan orang itu masih mengikuti dalam jarak yang sama!

Jimin ngeri

Jimin takut jika orang ini sebenarnya orang jahat yang mengincar Seokjin. Tidak, tidak ini harus berhenti. Di depan ada gang, Jimin akan masuk ke gang itu, menendangnya di perut, memelintir tangannya ke belakang lalu menanyai tujuan sebenarnya--

“Euhm, Miru anda jatuh..”

“Eh?” Jimin sontak berbalik melihat lelaki itu yang tengah berdiri canggung sembari mengusap lehernya. “Miru?”

“Miru? Alat untuk melihat waktu? maaf aku lupa bagaimana kalian menyebutnya jadi semenjak tadi aku hanya mengikutimu sambil berpikir apa namanya.” Pria itu tersenyum sembari menunjukan jam saku perak yang Jimin hafal bentuknya.

Hal itu langsung membuat Jimin langsung meraba jasnya, mencari jam saku yang seharusnya selalu ada di saku jas hitamnya. Yang dia rasakan justru kantong datar tanpa sisi.

Sadar kalau dia sepertinya menjatuhkannya di depan toko kudapan, wajah Jimin merona merah apalagi tadi dia sempat yang berpikiran yang tidak-tidak dengan orang itu. “A-ah iya terima kasih banyak.. astaga kenapa kau tidak memanggil ku saja tidak perlu mengikuti hingga empat block jauhnya?” Jimin mengambil jam saku perak dengan pahatan angsa di belakang. Sebuah warisan turun temurun keluarga nya dan tanda untuk mengabdi ke kerajaan juga kebanggaan Jimin.

Pria itu menunduk, Jimin tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup topi bambunya. “M-maaf…”

Jimin bersumpah dia melihat pipi pria itu memerah. Astaga mereka sekarang seperti orang bodoh. Dua orang bodoh yang wajahnya saling memerah malu. “Terima kasih sekali lagi, maaf aku sedang buru-buru dan tidak bisa memberikanmu sesuatu sebagai ucapan terima kasih.”

“A, tidak apa, tidak perlu. Tapi jika boleh, saya ingin bertemu dengan anda lagi.”

Kalimat itu berhasil mengubah ritme jantung Jimin sekali lagi. Genggamannya pada jam saku perak mengerat dan pipinya memanas. Wajahnya pasti semerah tomat sekarang. Jimin sering digoda, apalagi di umurnya yang sudah memasuki usia untuk menikah, keluarganya tidak ada henti-hentinya mengenalkan ke banyak calon tapi Jimin hanya mengabaikan mereka bak angin lalu.

Namun pria di depannya berbeda. Rasanya aneh, dari pertama kali mereka saling bertukar tatap. Terasa asing tapi juga familiar. Jimin berani sumpah dia tidak mengenal pria dari timur yang memiliki luka di wajahnya tapi di sisi lain orang di depannya mengingatkan dirinya pada rumah. Bahkan Jimin harus menahan diri saat mengambil jam sakunya atau tidak dia akan menggenggam tangan pria itu dengan erat tanpa pikir panjang.

“I-itu… aku tidak tahu.. maaf permisi aku harus segera pergi!” Berbalik, Jimin dengan segera mengambil langkah panjang meninggalkan lelaki itu yang kini terpaku di tempatnya dengan mata kucing selalu menatap Jimin hingga menghilang di tengah kerumunan.

-----

Jimin akhirnya sampai di gang dimana kereta kuda kerajaan berada, tersembunyi di deretan gedung besar dan diapit diantara gedung opera dengan butik terkenal. Mengetuk beberapa kali pintu kereta kuda sampai akhirnya dibuka oleh sang empunya. “Lama!!! Aku lapar!! kau kemana saja!” Jimin langsung disemprot oleh rengekan kelaparan putra mahkota.

“Maaf, aku tadi sempat kehilangan jam saku ku.” Jimin menaiki kereta kuda lalu memberikan kantong kertas berisi churros yang berbalut gula halus. Kantong itu diambil dengan senang hati oleh Seokjin.

“Kok bisa hilang?? woaahh!!” Seokjin mengambil gigitan besar hingga churros itu sudah habis setengah. Perutnya terlampau lapar, dia menunggu Jimin sampai novella yang dia baca habis bahkan sampai dia bosan sendiri. Dan akhirnya churros masuk ke perutnya dengan meninggalkan sensasi gurih nan manis di lidah. Tadinya dia ingin memarahi Jimin lebih lama lagi tapi berkat nikmat churros kesukaannya pidato yang dia siapkan untuk Jimin meluap entah kemana.

“Sepertinya saat aku memasukan uang kembalian terjatuh di depan pintu. Syukurlah ada orang yang menemukannya dan mengembalikannya padaku.” Jimin berucap pelan, churros miliknya belum disentuh karena netra fokus pada jam saku perak di genggaman. Hal itu membuat kening Seokjin mengkerut.

“Kenapa kau tidak makan?”

“Aku tidak lapar, buat mu saja.”

Hal itu tentu saja diterima dengan suka hati oleh Seokjin karena 3 Churros saja tidak cukup. Dia butuh glukosa untuk energi. “Terima kasihhh~~ aku memaafkanmu sekarang!”

Jimin tidak langsung menjawab, dia masih fokus pada jam tua yang selalu dia rawat dan jaga. Simbol kebanggaan, kesetiaan dan pengabdian, kini Jam itu mempunyai kenangan dan makna lain setelah pertemuannya tadi di pusat kota. “Seokjin apakah kau pernah merasakan seperti berada di rumah saat bertemu seseorang yang baru pertama kau temui?”

“Hah??” Mulut masih mengunyah dan belepotan gula halus tapi dengan segera terbuka saat mendengar pertanyaan aneh Jimin. “Apa maksud mu?”

Jimin menggeleng, Jam itu kembali masuk ke dalam saku jasnya. “Tidak apa-apa, lima menit lagi kita berangkat! ayo habiskan cepaat!!”

“Ehhh??? tapi churros harus dinikmati lambat-lambat! Biarkan gulanya meleleh sendiri di lidah! Jimin kau sparta!!”

---

[Yoonmin] His Serendipity Complete ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang