Jimin hanya pelayan, seorang butler putra mahkota sekaligus sahabat kecilnya. Realistis, tekun, displin dan pria manis.
Entah mimpi kejatuhan durian atau bintang, dia tiba-tiba dipinang kaisar negeri seberang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Satu isakan kecil keluar, Jimin mendekap mulutnya rapat. Di atas salah satu menara istana, Jimin menahan tangis dan kecewa karena berharap. Terduduk di bawah jendela di lantai yang berserakan bola kertas lusuh. Saksi bisu tukar surat tiga bulan terakhir.
"M-maaf, aku tidak bermaksud untuk kecewa," cicitnya pelan dengan suara bergetar pada Baram seakan burung itu juga akan menyampaikan pesan lisan pada tuannya di ujung samudra, "aku tidak bermaksud untuk sedih, aku tidak bermaksud untuk merasakan ini tapi... hiks..," nafas Jimin sempat tertahan di tenggorokan bersama isakan yang kian terdengar, "aku menantikannya, bertemu denganmu setelah 3 bulan purnama, setelah seratus hari lebih menabung rindu. Aku... hiks.. aku tidak peduli soal apakah kau akan membawa ku ke istana atau tidak...