Selamat membaca
Tama menunduk, sejak kejadian berlari bersama di bawah guyuran hujan, Liris terus menghindarinya bahkan ketika dirinya datang ke perpustakaan.
"Ada apa?"' tanya Ilyan pada Tama yang menaruh kepala di meja.
Tampak lesu dan tidak bersemangat, baru kali ini Ilyan mendapati Tama seperti itu.
"Aku... sedang kesal." Ekspresi Tama berubah buruk. Mata sayu itu menjadi mengintimidasi.
Bertepatan jam pulang berbunyi, buru-buru Tama menyambar tas dan berlari. Menyusuri lantai tiga, tempat murid tingkat akhir berada. Berlari menaiki anak tangga hingga lantai tiga, napas Tama masih teratur hanya saja sedikit keringat muncul di pelipis serta leher.
"Permisi. Apa Kak Liris sudah keluar kelas?" tanya Tama pada salah satu murid yang di duga teman sekelas Liris.
"Oh, tadi dia keluar lebih cepat."
Tama mengangguk dan segera berlalu, mengabaikan tatapan terpesona kakak tingkatnya. Sedangkan Liris kini berjalan sambil mendengkus. Lagi dan Lagi Argan tidak menjemput. Akhirnya ia hanya bisa memesan taksi.
"Kak... Boleh minta tolong sebentar?"
Alis Liris bertaut, ditatapnya murid berpenampilan seperti Ilyan itu.
"Minta tolong apa?"
"I-itu, ada kucing yang terluka di sana."
"Benarkah? Bukan hal lain? Kamu terlihat ketakutan."
Anak itu mengangguk kuat. "Iya! Aku takut karena lukanya parah dan tidak ada siapa pun yang berani kuminta tolong kecuali kakak."
Liris mengembuskan napas. "Ya sudah, ayo."
Tama yang masih di tingkat tiga menatap ke bawah melalui jendela. Mengamati Liris berbicara dengan seseorang. Hari ini, ia harus bertanya alasan Liris menghindarinya. Apakah kemarin ia telah melakukan kesalahan atau bagaimana.
Tapi setelah turun, Tama tidak mendapati siapa pun kecuali murid yang sama tadi datang mendekatinya sambil menggenggam ponsel.
Tubuh gemetar, sorot mata tak tentu juga bibir yang digigit dari dalam, murid itu ketakutan dan mencoba menjelaskan sesuatu padanya. Orang normal akan mengira bahwa murid ini seperti korban perundungan, tetapi Tama tahu bahwa itu kamuflase.
"Dimana gadis yang kamu ajak bicara beberapa menit lalu?"
Murid itu bergidik ngeri, seolah suara Tama mengancam kesehatannya hari ini.
"A-anu, aku harus menunjukkan ini." Kemudian memperlihatkan sebuah foto di layar ponsel itu. "Katanya dia menunggumu di gedung tua dekat penampungan rongsokan."
Dalam foto itu, Otto dan kelompoknya berjongkok sambil unjuk gigi, memamerkan Liris yang tak sadarkan diri dalam posisi berbaring menyamping di sebuah bangunan tua.
Tama membisu, tapi tanpa ragu merebut ponsel murid itu, menginjaknya hingga hancur, tidak berhenti di sana saja, bahkan Tama menarik kerah murid itu.
"Baru kali ini aku melihat sesuatu yang sangat menjijikkan dari pecundang," desis Tama dan berlalu, sedangkan wajah murid itu mengeras.
![](https://img.wattpad.com/cover/294821886-288-k91943.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Light that Never Dims
Teen FictionJudul awal 'Pancarona' dalam proses revisi Bagi Tama, semua warna kehidupannya adalah hitam. Sekeras apapun dia berusaha menggapai beragam warna untuk mendekati kehidupannya, takdir buruk selalu menjatuhkannya ke titik terendah. Menjadi korban perda...