Prolog

7 1 0
                                    

Kabut Desember membalut tubuhnya. Menyelimuti dengan hawa dingin meremang. Sejenak bergerak memeluk badannya sendiri mencari kehangantan. Namun, sia-sia. Bagaimana bisa ia merasakan kehangatan ketika mentarinya, sang pijar kehangatan telah sirna. Terenggut oleh jalan takdir Sang Maha Kuasa.

Tetes air mata jatuh untuk yang kesekian kali, bersamaan dengan rintik air di ujung daun akasia. Semakin keras deru hujan, kian pilu pula lirih isaknya. Setiap tetesan yang pecah di tanah, pecah pula pertahanannya. Ceceran kenangan manis masa lalu begitu istimewa untuk ia kubur dalam-dalam. Bagai piringan hitam di turntable, kenangan itu terus berputar indah di otaknya.

Dia tak sanggup berdiri pongah di atas tanah basah ini. Tubuhnya lunglai disapu angin sore. Jiwanya mengamuk. Hatinya telah poranda oleh nestapa. Laksana daun mungil di ranting tua, tubuhnya terombang-ambing oleh badai kehidupan. Tak lagi paham ke mana arah melangkah kala tujuan ia hidup telah menyerah.

Bolehkah ia marah kepada Tuhan? Bolehkah kali ini ia kecewa dengan takdir Tuhan? Terakhir, bolehkah ia menemui Tuhan sekarang? Ia sudah tak sanggup untuk mengarungi dunia dalam kesendirian. Apalah arti bulan tanpa bumi dan matahari? Lalu, apalah arti seorang istri tanpa buah hati dan suami? Dipaksa pisah oleh alur yang Tuhan gariskan. Jelas ia tak baik-baik saja kala di depan matanya tubuh dingin kedua malaikatnya terbujur kaku di bawah gundukan tanah basah berlapis kelopak mawar merah.

***

[SEE YOU IN THE FIRST CHAPTER]

RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang