♧ 004 :: INIKAH CINTA? ♧

2 1 0
                                    

Kasmaran. Wulan tidak menyangka dia berada di fase itu sekarang. Fase di mana ia begitu mengagumi sosok laki-laki kakak tingkatnya. Bagaimana perangai pemuda itu terlihat begitu menawan di mata Wulan. Ditambah paras wajah yang begitu tampan. Sejenak Wulan lupa bahwa mengingkari janjinya. Dulu, dia berjanji tidak akan memikirkan masalah cinta sebelum mampu membahagiakan kedua orang tua. Akan tetapi, sekarang kedua orang tuanya telah bahagia meski tidak bersama. Lalu, apakah janji itu masih berlaku?

Wulan kini tengah berguling-guling tidak jelas di kasur kamarnya. Hujan masih turun. Semakin malam air turun semakin deras. Biasanya dia akan tertidur nyenyak di kala hujan menyambangi, tetapi entah mengapa matanya tak mau terpejam meski waktu telah merangkak mencapai dini hari.

Wulan masih terbayang-bayang kejadian tadi sore, ketika Haidar memeluknya dari belakang untuk melindungi dari tetesan air hujan. Ingatannya begitu jelas. Bahkan ia masih bisa merasakan wangi parfum dari pemuda itu juga dekapan yang meski tak erat terasa begitu hangat. Jangan dihujat, sudah dikatakan kalau ia sedang dalam fase kasmaran. Jadi, sekecil apa pun kejadian yang menyenangkan akan begitu membekas di hati.

Semenjak kehadiran Haidar tadi sore, Wulan lebih merasa tenang. Suasana berkabungnya sedikit terangkat kala memandang senyum manis pria itu. Tatapan yang menyiratkan ketulusan membuatnya merasa tidak sendiri. Inikah kekuatan cinta?

Benar kata Haidar, kehilangan itu hal yang paling menyakitkan, tetapi di sinilah ujian yang sebenarnya. Bagaimana manusia yang ditinggalkan bersabar dan tetap tabah terhadap kehendak Tuhan. Tak sekalipun seorang hamba dapat menentang Yang Esa.

Tok!
Tok!
Tok!

Wulan beranjak dari baringan. Berjalan menuju pintu yang diketuk. Setelah pintu terbuka, Bu Salamah ada di sana. Beliau memang menginap di rumah Wulan sampai hari ke tujuh kematian ibu. "Kenapa, Bu?"

"Engga, kamu kenapa belum tidur ini sudah tengah malam. Aku mau pulang sebentar, ya, cucuku lagi sakit, katanya mau digendong mbah putri-nya," jawab Bu Salamah.

"Semoga Reza cepat sembuh, ya, Bu. Yaudah ngga papa, Wulan berani di rumah sendiri kok. Lagian siapa yang mau culik Wulan sih?" guraunya.

Bu Salamah terkekeh pelan. "Yo wes, aku pulang dulu, ya. Jangan lupa nanti kunci pintunya. Cek juga jendela barangkali lupa beluk dikunci!"

"Iya, Bu."

Wulan mengantarkan Bu Salamah sampai ke teras. Tak langsung masuk, dia menatap Bu Salamah yang berjalan dengan bernaung payung ke rumah sampingnya. Barulah setelah Bu Salamah sampai di teras, Wulan masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.

•••

Matahari mulai tersenyum, bersinar terang di cuaca yang sedikit dingin akibat hujan semalam. Bulir-bulir embun pagi di atas daun setetes demi setetes mencair. Aroma petrichor menguar begitu khas.

Hari ini tepat tiga puluh lima hari kematian bapak dan tujuh hari semenjak ibu menyusul. Siapa yang menyangka dalam kurun waktu kurang dari empat puluh hari Wulan harus mengalami kemalangan ini. Ditinggalkan kedua orang tercintanya. Rasa sedih, kecewa, dan marah, itu bukan perkara yang dipikirkan lagi. Namun, bagaimana cara tetap menjalani hidup di tengah kesepian. Bisakah ia hidup bahagia tanpa adanya orang tua?

Wulan sejak pukul enam tadi sudah sibuk sendiri. Dia akan masuk kuliah hari ini. Izin liburnya telah habis. Dengan perlengkapan yang sudah siap ia menutup pintu lalu menguncinya. Sebelum beranjak dia menoleh ke sebelah rumahnya. Di sana, Bu Salamah sedang memberi makan ayam peliharaannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang