BAGIAN 1

223 11 0
                                    

Malam yang teramat kelam, hanya diterangi cahaya dari api obor yang meliuk-liuk disapu angin. Sehingga membuat suasana hanya remang-remang saja, melingkupi sekitar Kerajaan Lokananta. Sebuah kerajaan di alam mayapada, yang dikuasai para siluman gaib.
Seorang gadis berpakaian hamba sahaya, berjalan perlahan-lahan menaiki undakan-undakan di bagian bangunan kerajaan. Sebentar-sebentar matanya beredar ke sekeliling Dan ketika merasa aman, kembali dia meniti anak tangga.
Tak berapa lama, gadis ini tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi kamar-kamar kecil berjeruji besi. Dinding kamar setinggi kurang lebih sepuluh tombak berupa tembok kokoh terbuat dari batu hitam yang keras. Siapa pun yang berada di dalam ruangan itu tak dapat melihat orang di luar, kalau tak berjingkat. Demikian pula sebaliknya. Kecuali yang betul-betul memiliki tinggi badan yang melebihi rata-rata.
Mata gadis ini liar mengawasi setiap jeruji, kalau-kalau ada penghuni yang mengintip kehadirannya. Jalannya pun pelan sekali, tanpa menimbulkan suara berarti. Di ujung lorong dengan ruang-ruangan berjeruji ini, gadis itu menemukan pintu besi yang bagian atasnya pun berjeruji. Perlahan kepalanya melongok. Dua penjaga tampak berdiri di masing-masing sisi pintu bagian dalam.
"Bagaimana caranya agar para penjaga itu keluar...?" gumam gadis ini bingung. Ditimang-timangnya nampan berisi makanan yang sejak tadi dibawa.
"Apakah mereka percaya?" Sesaat gadis ini berpikir agak lama sebelum memberanikan diri untuk mengetuk.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?" Terdengar suara dari dalam. Berat
"Aku, pelayan Putri Sekarsari," sahut gadis itu.
"Apa maumu?" tanya suara dari dalam lagi.
"Paduka memerintahkan untuk memberi makan Putri Sekarsari...."
"Kami tak mendapat perintah langsung dari Paduka."
"Beliau minta agar aku menyampaikannya pada kalian."
"Hm!" Kedua penjaga yang di dalam terdiam sejurus lamanya.
"Buka pintu! Apa kalian berani membantah titah Paduka?!"
Tak ada sahutan. Tapi tak lama terdengar derit pintu yang terbuka. Buru-buru gadis ini masuk tanpa mempedulikan sorotan tajam kedua laki-laki muda penjaga pintu.
"Kau harus diperiksa!" kata salah seorang penjaga.
"Silakan saja! Kau kira aku membawa apa selain makanan ini?" tukas gadis pelayan itu.
Tanpa peduli, penjaga ini mulai memeriksa gadis itu dengan seksama. Tak ada sesuatu yang mencurigakan yang mereka temukan selain makanan dan minuman. Bahkan setelah hidangan diendus, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Maka kedua penjaga itu memperbolehkan gadis ini mendekati kerangkeng besi.
Di dalam kerangkeng duduk seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya terlihat lesu. Bola matanya redup ketika melihat gadis pelayan itu. Lalu tanpa acuh kembali matanya memandang ke jurusan semula.
"Tuan Putri Sekarsari, hamba membawa makanan...," ucap gadis pelayan.
"Siapa kau?" tanya gadis dalam kerangkeng yang ternyata bernama Sekarsari.
"Ssst! Jangan kencang-kencang. Aku mengaku sebagai hambamu. Kalau mereka mendengar, celakalah aku!"
Sekarsari terdiam. Dipandanginya wajah pelayan itu sejurus lamanya.
"Nama hamba Ambar...," ucap pelayan yang mengaku bernama Ambar.
"Aku seperti pernah kenal namamu.... Sebentar! Hm, aku ingat. Kau kawan karib Parwi," tebak Sekarsari.
"Benar, Tuan Putri...."
"Kenapa Parwi tidak ke sini?"
"Tuan Putri Sekarsari, kalau dia yang ke sini, tentu akan berakibat buruk baginya."
"Apa maksudmu?" tanya Sekarsari, dengan kening berkerut.
"Di dalam makanan ini terdapat obat pemunah...," jelas Ambar.
"Apa maksudmu?!" Gadis dalam kerangkeng memandang Ambar dengan sinar mata menyelidik.
"Bukankah Tuan Putri telah menjalani hukuman?"
Dahi Sekarsari berkerut. Dan Ambar tidak melanjutkan bicaranya, ketika salah seorang penjaga mendekat.
"Waktumu habis. Kau boleh pergi sekarang!" usir penjaga itu.
"Eh! Bisakah aku di sini sebentar lagi?"
"Keluar kataku!" bentak penjaga itu dengan mata mendelik garang. Golok besar di tangannya siap diayunkan pada Ambar.
"Ba..., baik! Baik!" Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, Ambar buru-buru keluar dengan terbungkuk-bungkuk.
"Huh!"
Blam! Krek!
Kedua penjaga ini mendengus sinis, dan langsung membanting pintu saat Ambar telah keluar. Kemudian mereka berdiri di sisi kiri dan kanan pintu Diawasinya gadis dalam kerangkeng untuk sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke jurusan lain dengan wajah masam.
Ruang tahanan kembali sepi. Namun lebih kurang sepeminum teh kemudian, muncul seorang gadis berbaju biru dengan paras cantik bagai dewi kahyangan. Dia ditemani dua wanita hamba sahayanya. Tangan kirinya memegang kipas kertas bergambar burung merak beraneka warna.
"Tolong bukakan pintu! Tuanku Gandasari berkenan masuk!" kata salah seorang hamba sahayanya ketika mereka telah sampai di depan pintu besi.
Salah seorang penjaga melongok keluar, lalu buru-buru membukakan pintu.
"Hormat kami untuk Tuan Putri!" sahut kedua pemuda penjaga penjara itu seraya membungkuk.
"Hm...!" Gadis berbaju biru yang tak lain Gandasari melangkah pelan sambil mengangguk.
"Apa yang bisa kami bantu, Tuan Putri?" tanya seorang penjaga.
Bola mata gadis itu berbinar ketika melihat gadis dalam kerangkeng besi yang memang Sekarsari masih berada di tempatnya.
"Kalian telah membantuku dengan menjaganya baik-baik...," kata Gandasari seraya menghampiri. Sebentar Gandasari memandangi Sekarsari, lalu berjongkok di hadapan kerangkeng.
"Apa kabarmu, Adikku Sayang? Mudah-mudahan kau betah di sini? Sabarlah menanti. Karena waktu pengadilan untukmu tinggal sebentar lagi...," sapa Gandasari dengan senyum mengejek.
Sekarsari diam membisu. Kepalanya terangkat sebentar, lalu kembali menunduk.
"Mungkin bila Paduka kembali, kau akan dijatuhi hukuman mati. Berarti kita tak akan bertemu kembali. Apakah kau tidak mau melihatku untuk yang terakhir kali, Sekarsari?" kata Gandasari lagi, membuat Sekarsari kali ini kembali mengangkat kepalanya dengan sorot mata tajam.
"Aku berharap bisa bertemu denganmu di neraka!" desis Sekarsari.
Gandasari tertawa kecil.
"Kenapa kau berharap begitu? Apakah kau tak sayang pada kakakmu?"
"Kenapa?! Kenapa kau begitu kejam padaku?! Selama ini, aku tak pernah berbuat salah padamu atau pada yang lainnya. Aku selalu menuruti dan mengikuti jalan pikiran serta rencana-rencanamu. Kenapa?! Kenapa kau ingin menyingkirkanku?!" cerocos Sekarsari garang. Suara gadis berbaju merah ini mendesis, penuh kegeraman yang keluar dari lubuk hatinya.
Gandasari tersenyum-senyum, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya berbalik, membelakangi Sekarsari.
"Alasan ini semakin kuat. Kau mulai tak waras, sehingga menuduhku yang bukan-bukan...," gumam Gandasari.
"Aku tidak gila. Kau tahu itu! Aku hanya ingin tahu alasanmu! Kenapa kau ingin menyingkirkan aku?! Jawablah! Kenapa kau ingin sekali aku dihukum mati?!" sentak Sekarsari, keras. Sorot matanya kian tajam, seakan menuntut jawaban atas ketidakpuasannya diperlakukan demikian.
Gandasari berbalik. Dibalasnya tatapan adiknya dengan sorot mata yang tak kalah garang.
"Kau sudah gila, Sekarsari! Maka, hukuman mati lebih pantas. Sebab Kerajaan Lokananta tidak menerima makhluk gila!" desis Gandasari.
Setelah berkata begitu, gadis berpakaian biru ini melengos. Kakinya lantas melangkah. Tindakannya diikuti kedua gadis yang mengiringinya.
"Terkutuk kau, Gandasari! Kalau keluar dari sini, maka kaulah yang lebih dulu kuhajar!" maki Sekarsari di tengah ketidakberdayaannya, dalam penjara.
Gandasari berhenti, lalu menoleh dengan senyum dingin.
"Kau tak akan sempat melakukannya. Sebab sebelum hal itu terjadi, maka kau telah...." Gadis itu menggesekkan sisi telapak kanannya ke leher sambil tersenyum mengejek.
"Setan!" Sekarsari hanya bisa memaki. Sementara Gandasari terkekeh meninggalkannya.
"Keparat! Aku mesti menahan diri agar tidak merusak rencana. Awas kau, Gandasari!" desis Sekarsari perlahan sambil memandang kakak kandungnya dengan sorot mata penuh kebencian.
Blam!
Pintu tertutup, menimbulkan suara keras. Sekarsari kini tertunduk lesu. Diam-diam Sekarsari mengeluarkan sisa-sisa makanan di nampan yang tadi disembunyikan di balik baju pada bagian pinggang belakang.
"Untung dia tak melihatnya.... Kalau tidak..., urusan akan semakin runyam...," gumam gadis berpakaian serba merah itu.
Entah telah berapa hari Sekarsari terkurung di tempat ini. Tapi waktu berjalan terasa lama sekali. Ruangan ini tampak remang-remang, dengan cahaya obor yang menerangi. Tidak terlihat pergantian siang ke malam. Apalagi melihat cahaya matahari. Dan yang lebih membuatnya geram pada Gandasari adalah, kakaknya itu yang memberikan perintah untuk tidak memberinya makan!
"Hm!" Kedua penjaga itu menoleh sekilas, melihat Sekarsari duduk bersila seperti sedang bersemadi. Sudah dua hari ini mereka melihat gadis itu duduk dengan pandangan kosong. Kini tiba-tiba saja gairah hidupnya seperti pulih. Tak heran kalau mereka sesekali melirik. Tapi Sekarsari kelihatan tak berbuat apa-apa selain duduk bersila dengan tenang.
"Hm.... Bubuk ungu dalam hidangan tadi memang berkhasiat. Tenagaku seperti pulih. Tubuhku kembali enteng...," gumam gadis itu dalam hati, setelah beberapa saat kemudian. Sekarsari mulai mengatur jalan napasnya untuk beberapa saat. Lalu dia bangkit berdiri memandangi kedua penjaga itu.
"Aku mau kencing...," kata Sekarsari, menatap berganti-ganti pada kedua penjaga itu.
"Kau boleh kencing di situ!" sahut seorang penjaga, seenaknya.
"Kalian ini benar-benar tak beradab! Mana mungkin aku kencing di hadapan kalian?!" bentak gadis itu garang.
"Dunia kita tak kenal adat? Mau kencing, silakan saja. Tapi jangan harap kami melepaskan pengawasan sedikit pun!"
"Bagus! Pengabdian kalian hebat. Orang seperti kalian, mestinya patut dipuji. Tapi sayang. Kalian seperti binatang peliharaan. Tidak bisa membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk."
Kedua penjaga itu mendengus geram. Geraham mereka bergemeretuk menahan amarah.
"Jangan bicara sembarangan, Gadis Liar! Kau karang tawanan. Dan aku bisa menghajarmu sampai babak belur!" ancam salah seorang.
"Kau tak punya nyali untuk melakukannya!" sahut Sekarsari, seperti menantang.
"Kurang ajar!"
Penjaga penjara itu menggeram marah. Dan secepat kilat menghampiri. Tangannya menerobos celah kerangkeng hendak menampar. Tapi Sekarsari cepat melompat ke tengah, jauh dari jangkauan penjaga itu.
"Kau bukan saja binatang. Tapi juga dungu!" ejek gadis itu
"Setaaan!" dengus penjaga itu.
"Hei, Dungu! Kalian dua penjaga tolol berotak kerbau! Kaupun tidak kalah dungu dengannya!" maki Sekarsari pada penjaga yang seorang lagi.
Kedua penjaga itu menggeram laksana harimau kelaparan. Serentak mereka mengguncang-guncang kerangkeng sambil menjulurkan tangan silih berganti, hendak menangkap Sekarsari. Tapi gadis itu melompat-lompat lincah menghindarinya.
"Keparat! Biar kupatahkan tulang-tulang kakinya!" geram salah seorang penjaga yang tak mampu menahan amarahnya. Penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu merogoh kunci dari balik bajunya. Buru-buru hendak dibukanya kunci pintu kerangkeng.
"Hei, jangan! Tuan Putri Gandasari bisa marah besar nantinya!" cegah penjaga satunya, mengingatkan. Ditahannya tangan penjaga yang hendak membuka kerangkeng.
"Peduli setan! Beliau malah senang kalau gadis ini kita hajar!"
"Bagaimana kalau Paduka melihatnya? Pengadilan baginya belum lagi dimulai."
"Sang Ratu pasti berpihak pada Tuan Putri Gandasari...."
"Tapi kau mesti ingat. Dia kesayangan Paduka!"
"Sang Ratu orang yang tegas. Siapapun yang bersalah, pasti kena hukuman. Tak peduli anaknya sendiri."
"Tapi kalau kita mematahkan tulang kakinya, berarti mendahului keputusan beliau."
"Hm...!" Pemuda tinggi tegap dan berangasan itu mencabut anak kunci dengan muka tertegun memandangi penjaga yang bertubuh sedang. Dimasukkannya anak kunci ke dalam sakunya.
"Sudahlah, sabar saja. Daripada kita kena amarah Paduka...," lanjut penjaga bertubuh sedang.
"Hihihi...! Kerbau tolol! Otak udang! Kalian memang dua ekor binatang yang tak berguna. Apa yang bisa dikerjakan oleh dua ekor kerbau dungu seperti kalian? Huh! Setelah menghukum aku, maka kakakku pun pasti akan membereskan kalian biar kelak tak ada saksi mata!" oceh Sekarsari melanjutkan ejekannya.
"Tutup mulutmu! Kurang ajar! Kuhajar kau!" Amarah penjaga tinggi tegap itu kembali menggelegak kembali, tangannya merogoh kunci dan membuka pintu kerangkeng. Tak dipedulikannya peringatan penjaga yang satunya.
"Kuhajar kau, Setan Betina!"
Pintu kerangkeng terbuka. Dan penjaga bertubuh tinggi tegap itu langsung menerkam Sekarsari laksana seekor harimau kelaparan.
"Hiih!" Sekarsari mengibaskan tangan kiri untuk menepis terkaman. Tubuhnya lantas bergerak sedikit ke kanan. Dan mendadak sikut tangan kanannya menghantam punggung.
Diegkh!
"Aaakh...!" Penjaga itu ambruk tak berdaya sambil melenguh pendek. Kejadian itu berlangsung cepat. Bahkan dengan gerakan cepat, ditotoknya penjaga itu. Begitu habis menotok, tahu-tahu Sekarsari telah melompat keluar kerangkeng.
"Kau..., kau...!" Penjaga bertubuh sedang nampak terkejut setengah mati. Namun secepatnya dia melompat menyerang Sekarsari.
"Hiih!" Sambil menjatuhkan diri, kedua kaki Sekarsari menghantam perut dan dada.
Dug! Begkh!
"Aaakh...!"
Penjaga ini kontan terpelanting ke belakang menghajar dinding. Sementara gadis itu telah mencelat. Ditotoknya penjaga yang satu lagi sebelum sempat bangkit.
Dengan cepat pula Sekarsari memasukkan mereka ke dalam kerangkeng. Lalu, dikuncinya pintu kerangkeng.
"Betul kataku, bukan? Kalian hanya dua ekor kerbau dungu yang tak berguna!" dengus Sekarsari
Kedua penjaga itu hanya memandang dengan mata melotot lebar.
"Percuma saja kalian melepaskan diri. Seandainya bebas dari totokanku, kalian tak bisa terbebas dari kerangkeng ini. Nah, selamat tinggal, Kerbau-Kerbau Dungu!"
Secepat kilat Sekarsari keluar dari ruangan itu. Dikuncinya pintu dengan hati-hati. Dia berjingkat-jingkat keluar. Pendengarannya dan penglihatannya ditajamkan, kalau-kalau ada beberapa penjaga yang sedang meronda.
"Hup!"
Bagai seekor kucing liar, gadis itu lompat keluar dari jendela, dan langsung mendarat di tanah empuk. Kalau dia keluar lewat jalan dalam dengan menuruni anak tangga, maka rintangan akan lebih banyak dilaluinya. Tapi melompat keluar dari tempat itu pun bukannya tanpa rintangan.
Di bawah ini, berkeliaran buaya-buaya hitam yang terkenal ganas dan amat buas. Makanannya daging segar yang masih berdarah. Hukuman mati yang paling ringan, biasanya dilemparkan ke sini. Dan dalam sekejap si tawanan tinggal tulang-belulang.
"Graaakh!"
"Hup! Kurang ajar!"
Mendadak saja dua ekor buaya melompat dengan mulut terbuka lebar. Untung gadis itu segera melenting ke belakang. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah, beberapa ekor buaya lainnya menerkam dengan mulut terbuka. Salah seekor bahkan mengibaskan ekornya yang panjang.
"Hiaaahhh...!" Sekarsari menghentakkan kedua tangannya beberapa kali, melepas pukulan jarak jauh.
Deb! Deb! Desss...!
Dua ekor buaya berukuran besar terpental. Namun...
Desss...!
Seekor buaya berhasil menyabetkan ekornya ke punggung gadis itu hingga melenguh kesakitan. Dengan menahan nyeri Sekarsari mencelat ke atas, mampu hinggap di atas tembok pagar setinggi kurang lebih dua tombak.
"Tangkap! Jangan biarkan dia lolos...!"'
"Hei?!" Mendadak terdengar teriakan, membuat Sekarsari tercekat.

***

205. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Gila Di LokanantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang